Menjadi ayah itu istimewa. Sebab, tak semua orang bisa dan sempat merasakan jabatan sebagai seorang ayah
Alasannya? Setidaknya, ada syarat mutlak yang harus dipenuhi. Pertama, seorang laki-laki. Kedua, menjadi suami. Dan Ketiga, memiliki anak. Akumulasi tiga syarat ini merujuk pada jabatan sebagai ayah. Tak semua orang alami, kan?
Kali ini, aku menulis sosok seorang ayah. Monggo ibu-ibu untuk menepi sejenak. Karena, jika membahas tentang Ibu-ibu, maka tulisanku, bukan sebagai ayah. tapi sebagai suami! Karena tentang ayah, jadi pokok bahasanku berhubungan dengan anak, tah?
Begini. Di balik jabatan istimewa itu, sebagai seorang ayah, aku akan berbagi cerita beberapa kecemasan yang kupikirkan terhadap keberadaan dan keadaan anakku. Khususnya anak perempuan.
Kenapa bukan anak laki-laki?
Jawaban logisnya, seumur hidup, aku lebih mengenal "medan perang" dunia laki-laki, kan? Sederhananya, sejak kecil kubekali ilmu bela diri dan melatih untuk bertanggung jawab. Sisanya bisa sambil jalan.
Hal yang sama sebagaimana sikap dan caraku pada anak laki-laki, tak bisa kulakukan pada anak perempuanku. Kenapa? Aku tulis, ya?
Kenapa harus berbeda pada anak perempuan? Apakah aku memegang teguh kredo patriarki dan menghalangi emansipasi? Entahlah! Aku tak bisa menjelaskan itu. Lebih baik aku ajukan beberapa alasanku sebagai argumentasi, ya?
Pertama. Keterbatasan Pengetahuan Ayah tentang Perempuan
Harus kuakui. Sebagai sosok ayah, aku memiliki keterbatasan pengetahuan terhadap detail dunia perempuan, dibandingkan seluk beluk dunia laki-laki. Selain banyak bertanya dan membaca yang dapat membantu, Maka rumus trial and error pun pasti berlaku.