Saat itu, aku masih enam bersaudara. Aku urutan keempat, dan lelaki satu-satunya. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana kesulitan masa kecilku menjaga kelaki-lakianku, kan? Eh, maksudku, caraku bertahan dengan identitas sebagai anak Amak, kan?
Ketiga. Kulit dan rupa wajah berbeda.
Hingga saat ini, aku tak akan menyangkal, jika dinyatakan berbeda dengan saudara yang lain. Saudaraku memiliki kulit putih, kulitku coklat kemutung-mutungan. Bentuk wajah mereka ada yang bundar dan lonjong. Aku? Memiliki wajah persegi yang tak jelas. Hiks...
Karena alasan-alasan itu. Aku ragu untuk percaya, ketika Amak membelaku dengan cara memarahi saudara-saudaraku, saat berucap aku "anak hanyut!".
Akupun, menganggap cerita itu sebagai sebuah kebenaran. Bukan hanya sebagai pernyataan, tapi sebuah kenyataan.
Seiring bertambah usia, aku memiliki jawaban ampuh buat menangkal sebutan "anak hanyut" itu! Usai Amak berkisah tentang kisah Nabi Musa yang dihanyutkan, supaya terbebas dari titah pembunuhan oleh Firaun. Akhirnya, diselamatkan istri Firaun.
Saat itu, Amak membujukku dengan menyatakan, bahwa Nabi Musa adalah sosok pilihan. Maka, akupun mengaku dan menganggap begitu. Apalagi, aku lelaki satu-satunya. Tanpa persaingan jika mengaku ghantenk! Ahaaay...
Akupun kembali berpraduga. Hal itu adalah cara saudaraku memberikan perhatian saat itu. Karena bingung, tak ada referensi bersikap pada saudara laki-laki. Aku pernah diajak main boneka, bermain masak-masakan, hingga pasrah dipakaikan baju perempuan milik saudaraku!
Semakin tumbuh besar, anggapan dan julukan sebagai "anak hanyut" itu, memudar!
Kelahiran si Bungsu yang berjenis kelamin laki-laki, sama sekali tak menolong! Tubuhnya tinggi menjulang, kulitnya berwarna terang, dan pasti lebih ganteng! Praduga itu tetap ada. Sebab aku merasa berbeda. Dan, aku hanya bisa pasrah, kan?
Namun, seiring perjalanan waktu. Praduga itu menghilang! Wajah dan sikapku mulai dihubungkan dengan Almarhum Abak (ayahku). Aku pun mulai menemukan banyak persamaan dengan saudaraku, tapi juga menerima banyak perbedaan!