"Jika kau ingin aku sekadar singgah, beri aku kopi. Jangan hati!"
Kalimat itu kubaca di status media sosial milik temanku. Silakan bebas melakukan penafsiran. Apatah bernada romantisme atau sebuah ungkapan patah hati? Atau kalimat itu merupakan Dalan Liyane seseorang ketika menikmati segelas kopi?
Minum kopi, tak lagi semacam ritual warga pedesaan sebelum pergi ke sawah dan ladang. Atau menikmati segelas kopi di pos ronda dan warung kopi untuk berinteraksi, sambil berbincang ringan isu-isu terkini. Namun telah menjadi gaya hidup bagi warga perkotaan!
Saat ini, terdapat banyak kedai dan kafe yang khusus menyediakan kopi. Bak jamur di musim hujan. Beragam jenis dan menu berbahan dasar kopi, ditawarkan dan diracik oleh orang-orang yang memiliki keterampilan khusus.
Bagi penikmat kopi sejati. Keberadaan Kedai kopi dan kafe bukan hal yang penting. Rasa adalah yang utama. Jika sudah merasakan kopi sesuai selera, maka mereka akan setia. Di tempat yang sama. Dengan jenis dan menu kopi yang sama pula. Iya, kan?
Namun, ada juga yang datang tak melulu berurusan dengan rasa kopi. Bisa jadi, untuk menikmati waktu senggang usai jenuh seharian bekerja. Berkumpul dengan teman-teman sambil bertukar canda dan bertukar cerita. Bisa jadi sekadar ajang pelarian dari rutinitas.
Bagaimana denganku? Aku terbiasa menikmati segelas kopi hasil racikan anakku. Setiap pagi, Anak gadis yang biasa kusapa Uni Tya akan meramu segelas kopi untukku. Kecuali jika lagi flu atau badan kurang fit, kupilih menikmati segelas teh hangat. Ahaaay....
Begini. Khusus urusan keterampilan di dapur, aku termasuk jenis orangtua yang konservatif. Bagiku, anak perempuan, sejak kecil mesti terbiasa di dapur. Tak mesti selevel Master Chef, tetapi mampu mengenal beragam bumbu dan membedakan serta menggunakan alat-alat dapur.
Dan, butuh perjalanan panjang bagi Uni Tya, meraih kepercayaan dalam meracik segelas kopi untukku.
Sejak kelas 2 SD (Sekarang kelas 1 SMP). Pelan-pelan, kuberikan rumus dan tahapan kepada anak gadisku untuk meracik segelas kopi. Tentu saja, sesuai jejak usia Uni Tya. Aku tulis dalan liyane untuk menikmati segelas kopi dari gadisku itu, ya?
Pertama. Mengenal Bahan dan Takaran.
Dengan pertimbangan, di usia 8 tahun sudah mulai mengenal bahaya, maka kuputuskan meminta Uni Tya membuat segelas kopi. Rumusku adalah 2:1. Dua sendok kopi dan satu sendok gula. Atau disesuaikan dengan ukuran gelas. Air panasnya, masih dari termos.
Aku akan menikmati apapun rasa kopi racikan anakku. Pernah kebanyakan gula, kebanyakan kopi, atau diseduh dengan air termos yang sudah dingin. Hingga saat ini, aku masih memegang teguh pakem "Ikhlas menerima risiko yang terjadi. Jika ingin enak, buat sendiri".
Kedua. Berlatih Meramu Segelas Kopi.
Seingatku, kelas empat SD. Saat Uni Tya kubebaskan menggunakan kompor gas. Level meracik kopi, tak lagi asal jadi. Tapi mulai menakar rasa dengan cara mencicipi. Percayalah! Rasa kopi lebih nikmat, jika diseduh dengan air mendidih, daripada air panas dari dalam termos, kan?
Akibatnya? Beberapa kali, Uni Tya sukses memecahkan gelas, gegara perbedaan suhu gelas dan air mendidih. Hingga akhirnya anakku tahu, rahasia keberadaan sendok saat menuang air, mampu mencegah gelas terbelah. Hal sederhana itu, pada praktiknya, tak akan ditemukan di sekolah.
Ketiga. Menghidangkan untuk Tamu.
Karena berdarah Minang, aku memiliki kecerewetan khusus dalam hal adab. Semisal meramu segelas kopi, maka tak kuizinkan anakku mengaduk racikan kopi dengan menghasilkan bunyi, karena beradu sendok dan gelas. Dalam adab tetua Minang, jika berbunyi, itu pertanda kemarahan.
Apalagi jika ada tamu. Itu pantangan! Sebab, jika bertamu, kemudian terdengar bunyi. Atau jika segelas kopi yang dihidangkan ternyata dengan air yang tidak terlalu panas, itu cara halus meminta tamu cepat pulang.
Tak sebatas itu, saat menghidangkan, mesti diberi alas, seperti piring kecil sebagai tadah. Jangan lupa kalimat mempersilakan untuk dinikmati. Aku pribadi, jika diletakkan di hadapanku, tapi tuan rumah tidak menawarkan, maka aku tak akan meminumnya. Adabku keras, ya?
"Kopi pagi ini, pahitnya tertutup rasa manis. Seperti dua orang yang saling mencintai, kemudian saling berucap janji yang tak mungkin dipenuhi."
Sebelum menulis artikel ini, aku meluncur ke Mbah Gugel. Sedikit mengabaikan "Filosofi Kopi" karya Dee Lestari, kulakukan pencarian dengan kalimat kunci "Quote Segelas Kopi". Dengan durasi pencarian 0.36 detik, terpampang ratusan halaman!
Quote di atas adalah salah satu sisi lain yang kuanggap dalan liyane, ketika seseorang menikmati segelas kopi (baca di sini). Atau silakan menyelami makna dari 2 barisan kalimat yang kukutip berikut ini :
"Aku kerapkali tenggelam dalam secangkir kopi. Di dalamnya, kuaduk rindu dan sepi."
"Tak perlu menjauh! Tunggulah sebentar saja. Biar kutenggak habis gelas kopiku. Dan bergegas lari dari kehidupanmu."
Begitulah! Kukira, menikmati segelas kopi, tak hanya mereguk rasa dan isinya. Namun, bisa juga menyigi Dalan Liyane "keberadaan" segelas kopi, saat tersaji di hadapan kita.
Bayangkan Imajinasi apa saja yang bisa hadir, ketika suasana sepi dan sendiri. Sambil menikmati segelas kopi. Kemudian, dari kejauhan terdengar sayup sepotong larik lagu Dalan Liyane ciptaan Hendra Kumbara.
Sopo seng kuat nandhang kahanan, Sopo seng ora kroso kelangan
Ditinggal pas sayang sayange, Pas lagi jeru jerune
Koe milih dalan liyane
Hiks...
Curup, 24.03.2021
Zaldychan
[Ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H