Hingga hari ini, di sudut ruangan di lantai dua rumah Amak (Ibuku). Terpasung kotak persegi panjang, berwarna coklat. Memiliki dua pintu lipat yang bisa di buka kiri-kanan. Dulu, memiliki empat kaki. Kini, habis dimamah ngengat.
Terdapat logo berwarna biru, berbentuk perisai, lebih besar ukurannya dari tutup botol kecap. Bertuliskan "Deluxe" dan angka 24. Di dalamnya terkurung tabung televisi. Di bawahnya, ada tulisan dengan huruf besar "NATIONAL".
Seingatku, saat masih kelas 3 SD, kotak coklat berisi televisi itu masih bisa kutonton. Walau layarnya hitam putih. Namun, menjadi pintu meihat dunia bagiku. TVRI menjadi satu-satunya siaran yang tersedia.
Aku menyaksikan final Thomas Cup tahun 1984 antara Cina vs Indonesia. Dan jadi tahu, asal nama “King Smesh” itu dari pemain andalan Indonesia Liem Swie King. Aku juga menonton final Piala Dunia 1986 di Meksiko antara Argentina vs Jerman Barat.
Akupun jadi tahu, Maradona bukan hanya pemain bola. Tapi lebih tepatnya, bola yang bermain bola!
Kotak coklat itu, juga memudahkanku. Saat guru memberi tugas mencatat nama-nama menteri setiap kali selesai pemilu. Atau diminta mencatat berita olahraga yang tersaji di akhir acara "Dunia dalam Berita" untuk pelajaran olahraga.
Aku jadi tahu, bahagianya para petani yang dikunjungi presiden saat bertanam atau panen. Ada lomba Kelompencapir antar daerah dengan hadiah yang tergolong mewah. Karena langsung diberikan presiden.
Semasa itu, ada juga acara Keliling Nusantara. Membahas tentang kerajaan, adat budaya, makanan, pakaian dan rumah adat 27 propinsi (saat itu). Bahkan candi-candi sejak jaman behaula! Yang berusia ratusan (atau ribuan tahun?).
Dulu aku merasa yakin. Peradaban kita, setara dengan Cina, Jepang, Mesir, Yunani atau Italia. Amerika Serikat? Mereka tak punya candi, tah? Patung Liberty pun karya orang Prancis! Kan? Kan?
Mungkin karena itu. Amak (ibuku) dengan keras melarang, setiap anaknya berniat "mengungsikan" kotak coklat itu dari sudut ruangan.
"Kalian belum lahir. TV itu sudah ada!"