Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Menyigi "Keterbatasan" Bahasa

7 Maret 2021   18:27 Diperbarui: 10 Maret 2021   17:19 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa menyediakan kelemahan dan kekuatan. Dan itu berpulang pada pengguna.

Menurut Putu Wijaya. Manusia yang tak berdaya akan dilumat oleh bahasa yang ambigu, sedangkan manusia yang perkasa justru akan dilatih tanggap dan kreatif oleh keterbatasan bahasa. Karena keterbatasan juga berarti lentur, supel "dan atau" fleksibel.

"Pertikaian" Manusia dengan Bahasa

Berdasarkan paragraf di atas, ada dua golongan manusia yang terperangkap pada kelemahan dan kekuatan bahasa.

Pertama. Manusia Tak Berdaya.

Sebab begitu mudah terperangkap pada ambiguitas bahasa. Dalam guyonan di kedai kopi, akan ditemukan percakapan ringan semisal :

"Masih merokok? Coba baca di kotak rokokmu. Ada tulisan Merokok dapat menyebabkan..."

"Itu kalau rokok dapat! Ini aku beli, bro!"

"Ngeyel! Nanti kalau..."

Nah. Gegara lemah, akhirnya gampang terprovokasi, mudah tersulut emosi bahkan mengajak serta hal-hal yang tak esensial dan signifikan dalam perdebatan di area publik.

Kedua. Manusia Perkasa.

Mereka dilatih dan terlatih untuk lebih kreatif dalam menerima keterbatasan bahasa. Hingga akhirnya menciptakan ruang dan peluang serta pemaknaan baru.

Makna baru itu, bisa salah, bisa benar dan bisa saja diabaikan. Contoh terdekat adalah memaknai sebutan "Wakil Rakyat" untuk anggota DPR.

Kata wakil, dimaknai sebagai orang yang dipilih menggantikan, dikuasakan, utusan serta sebagai orang kedua setelah pimpinan atau ketua. Namun, yang jamak terjadi, malah wakil rakyat terlihat lebih "wah" kedudukannya dari pada arti harfiah sekadar wakil, tah?

ilustrasi Kamus Bahasa (sumber gambar; pixabay.com)
ilustrasi Kamus Bahasa (sumber gambar; pixabay.com)
Menyigi Keterbatasan Bahasa

Contoh terkini dalam minggu ini, bermula dari topik legalitas investasi yang mengundang pro dan kontra. kali ini, aku tidak membahas tentang investasi. tetapi pemaknaan kalimat "Minuman Keras" dalam bingkai makna minuman beralkohol dan memabukkan.

Beragam argumentasi dilontarkan sebagai penegas atas penolakan atau dukungan. Mulai dari kajian serius aspek sosial, agama, budaya, ekonomi, hingga sisi remeh temeh dan apalah-apalah.

Namun, perdebatan itu menjadi lucu dan tak berguna, ketika secara adem ayem, ada saja pihak yang memaknai minuman keras itu bermakna "Es Batu atau Batu Es"!

Menurutku, pemaknaan kata dan kalimat dengan "keberpihakan" kepada makna istilah atau makna harfiah, tak bisa disigi dari tingkat pendidikan atau lingkungan pergaulan dari pengguna. Namun, juga aspek kepentingan dari penggunaan bahasa tersebut.

Tak berhenti di situ. Kemudian lahir pemaknaan-pemaknaan baru. Tak hanya memperkaya serta memperluas makna, namun juga terkadang liar bahkan cenderung mengaburkan arti sebenarnya dari kata atau kalimat yang digunakan.

Terkait minuman keras, dalam KBBI V, Minuman Keras adalah minuman beralkohol yang memabukkan seperti bir, anggur, tuak dan arak.

Berpijak pada kriteria minuman keras versi KBBI itu, maka unsur minuman keras ada tiga. Pertama, Beralkohol. Kedua, Memabukkan. Ketiga, Seperti Bir, Anggur, Tuak dan Arak.

Jika pemaknaan harfiah. Minuman keras "tak bisa" keluar dari ketiga unsur itu. Jika salah satu tak ada, maka hal itu tak bisa dimaknai sebagai minuman keras.

Secara kelirumologi, kita bisa merekayasa kasus, jika mengacu pada arti minuman keras versi KBBI tersebut.

Pertama. Seseorang tak bisa dituduh apalagi dihukum, jika meminum minuman beralkohol. Berapa pun limitasi presentase kadar alkoholnya.

Kedua. Seseorang tak bisa dituduh atau dihukum meminum minuman keras, jika orang yang bersangkutan tidak mabuk.

Ketiga. Seseorang tak bisa dituduh atau dihukum meminum minuman keras dengan kadar alkohol tinggi, yang bersangkutan mabuk. Walaupun yang diminum adalah bir, anggur, tuak atau arak.

Sebab yang termasuk minuman keras itu adalah "seperti" keempat jenis minuman itu. Makna kata "seperti" bisa sangat ambigu, kan?

Mungkin saja, selanjutnya akan hadir kegenitan-kegenitan baru untuk mendefinisikan beralkohol itu apa? Memabukkan itu ukurannya bagaimana? Terus ada kesibukan baru menyusun ulang definisi apakah yang dimaksud bir, anggur, arak dan tuak?

Atau malah mengatur ulang. Meracik pengertian Minuman Keras itu secara harfiah juga secara istilah yang disepakati menjadi satu pedoman baku. Tanpa pemaknaan-pemaknaan baru.

Ilustrasi Lembaran Koreksi (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi Lembaran Koreksi (sumber gambar: pixabay.com)
Jadi?

Poinnya adalah, tak hanya enggan menerima fakta jika ada keterbatasan makna dalam bahasa. Namun juga terjadi kekeliruan sikap dalam memaknai bahasa.

Atau memang sesungguhnya, sekarang ini. Memang eranya jamak terjadi kekeliruan? Sikapnya ke mana? Dan, bahasanya di mana?

Entahlah!

Curup, 07.03.2021
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun