Berpijak pada kriteria minuman keras versi KBBI itu, maka unsur minuman keras ada tiga. Pertama, Beralkohol. Kedua, Memabukkan. Ketiga, Seperti Bir, Anggur, Tuak dan Arak.
Jika pemaknaan harfiah. Minuman keras "tak bisa" keluar dari ketiga unsur itu. Jika salah satu tak ada, maka hal itu tak bisa dimaknai sebagai minuman keras.
Secara kelirumologi, kita bisa merekayasa kasus, jika mengacu pada arti minuman keras versi KBBI tersebut.
Pertama. Seseorang tak bisa dituduh apalagi dihukum, jika meminum minuman beralkohol. Berapa pun limitasi presentase kadar alkoholnya.
Kedua. Seseorang tak bisa dituduh atau dihukum meminum minuman keras, jika orang yang bersangkutan tidak mabuk.
Ketiga. Seseorang tak bisa dituduh atau dihukum meminum minuman keras dengan kadar alkohol tinggi, yang bersangkutan mabuk. Walaupun yang diminum adalah bir, anggur, tuak atau arak.
Sebab yang termasuk minuman keras itu adalah "seperti" keempat jenis minuman itu. Makna kata "seperti" bisa sangat ambigu, kan?
Mungkin saja, selanjutnya akan hadir kegenitan-kegenitan baru untuk mendefinisikan beralkohol itu apa? Memabukkan itu ukurannya bagaimana? Terus ada kesibukan baru menyusun ulang definisi apakah yang dimaksud bir, anggur, arak dan tuak?
Atau malah mengatur ulang. Meracik pengertian Minuman Keras itu secara harfiah juga secara istilah yang disepakati menjadi satu pedoman baku. Tanpa pemaknaan-pemaknaan baru.
Poinnya adalah, tak hanya enggan menerima fakta jika ada keterbatasan makna dalam bahasa. Namun juga terjadi kekeliruan sikap dalam memaknai bahasa.