Kedua. Manusia Perkasa.
Mereka dilatih dan terlatih untuk lebih kreatif dalam menerima keterbatasan bahasa. Hingga akhirnya menciptakan ruang dan peluang serta pemaknaan baru.
Makna baru itu, bisa salah, bisa benar dan bisa saja diabaikan. Contoh terdekat adalah memaknai sebutan "Wakil Rakyat" untuk anggota DPR.
Kata wakil, dimaknai sebagai orang yang dipilih menggantikan, dikuasakan, utusan serta sebagai orang kedua setelah pimpinan atau ketua. Namun, yang jamak terjadi, malah wakil rakyat terlihat lebih "wah" kedudukannya dari pada arti harfiah sekadar wakil, tah?
Contoh terkini dalam minggu ini, bermula dari topik legalitas investasi yang mengundang pro dan kontra. kali ini, aku tidak membahas tentang investasi. tetapi pemaknaan kalimat "Minuman Keras" dalam bingkai makna minuman beralkohol dan memabukkan.
Beragam argumentasi dilontarkan sebagai penegas atas penolakan atau dukungan. Mulai dari kajian serius aspek sosial, agama, budaya, ekonomi, hingga sisi remeh temeh dan apalah-apalah.
Namun, perdebatan itu menjadi lucu dan tak berguna, ketika secara adem ayem, ada saja pihak yang memaknai minuman keras itu bermakna "Es Batu atau Batu Es"!
Menurutku, pemaknaan kata dan kalimat dengan "keberpihakan" kepada makna istilah atau makna harfiah, tak bisa disigi dari tingkat pendidikan atau lingkungan pergaulan dari pengguna. Namun, juga aspek kepentingan dari penggunaan bahasa tersebut.
Tak berhenti di situ. Kemudian lahir pemaknaan-pemaknaan baru. Tak hanya memperkaya serta memperluas makna, namun juga terkadang liar bahkan cenderung mengaburkan arti sebenarnya dari kata atau kalimat yang digunakan.
Terkait minuman keras, dalam KBBI V, Minuman Keras adalah minuman beralkohol yang memabukkan seperti bir, anggur, tuak dan arak.