Sepakat mengikat diri, menerjemahkan rumah seperti memangku rindu pada kekasih abadi. Membiarkan kaki mengajak raga pergi melangkah. Namun hati tetap ditinggalkan. Rindu menggebu yang selalu mengingatkan mereka untuk pulang.
Banyak yang tak memiliki kemampuan mendirikan rumah. Walau setiap hari berjibaku dalam keluh dan peluh. Bersedia dan rela mendiami rumah dalam hitungan bulanan atau tahunan. Walau sementara, tapi penuh cinta.
Mereka terlatih merundukkan ingin di alam sadar paling dalam. Berlatih menjalani pusaran hari demi hari. Tak khawatir berujar dan menakar isi rumah yang mampu dimiliki. Sebab, tak ada yang bisa mengalahkan kebersamaan atas nama cinta.
Tak perlu memikirkan kerumitan dan kesulitan untuk pulang. Boy Candra pernah menuliskan, "bukankah cinta adalah proses menuju pulang? Berjalan menuju seseorang yang kelak kau sebut rumah, dan menetap di sana hingga menutup usia."
Rumah tak hanya menaungi dan melindung orang-orang yang menjadi penghuni. Namun memiliki banyak fungsi rahasia yang tak terduga.
Adakalanya, rumah menjelma menjadi gudang bagi aneka macam barang. Hadir dengan alasan kebutuhan atau semata keinginan. Dengan alasan kebutuhan hari ini, atau untuk esok nanti yang tak pasti.
Pada masanya, rumah berubah menjadi bilik-bilik menyimpan kenangan. Lemari tua tempat paling aman menyimpan baju pernikahan, di dinding terpasang pajangan foto-foto masa lalu dan aneka penghargaan, atau kotak kecil untuk menyembunyikan surat cinta pertama.
Tiba-tiba, tanpa disadari. Rumah mengubah diri menjadi museum sejarah kehidupan. Tak hanya bagi penghuni di masa kini, namun juga untuk generasi di masa depan. Rumah tak lagi menjadi pusat dari cerita, cinta, derita dan airmata. Tapi rumah menjadi sumber dari itu semua.
Pada akhirnya, rumah pun kembali kepada fungsi aslinya. Sebagai alasan, untuk merasakan pulang.