"Kita terlalu banyak membangun tembok di sekitar kita. Namun, tak cukup punya jembatan menuju ke kehidupan orang lain." (Joseph Fort Newton)
Kali ini, aku memilih quote dari mantan menteri Amerika Serikat itu. Karena setiap hari kerja, setidaknya empat kali aku melewati jembatan. Sebab, jalan dan jarak tempuh dari rumahku ke tempat kerja, terpajang dua jembatan.
Jembatan Pertama. Memiliki lebar sekitar 12 meter dan pajang maksimal 20 meter. Kondisinya masih bagus. Aspal hotmix, berjarak kurang 50 meter dari rumah. Sungai di bawahnya, tempat pertama aku latihan renang. Dengan pilihan gaya berendam atau tenggelam.
Jembatan Kedua, Dengan ukuran panjang dan lebar sekitar 15 meter. Tapi, nasibnya tak seindah jembatan pertama. Sebelum dan sesudah jembatan, aku disambut ucapan dalam hati, "selamatkan diri dari lubang!".
Kalau hujan deras, biasanya akan banjir. Air akan melewati badan jalan di atas jembatan. Terus, di sisi jembatan, juga ada satu rumah tak berpenghuni, gegara acapkali direndam banjir.
Aku tak memiliki jalan alternatif, ketika jembatan kedua terendam banjir. Terkadang, mesti menunggu larut malam, berharap banjir telah surut. Baru bisa pulang ke rumah. Aku jadi membayangkan. Bagaimana jika kedua jembatan itu tak ada?
Aku pasti akan sibuk berganti pakaian! Berkali-kali! Selain itu, aku mungkin memutuskan berangkat ke tempat kerja dengan membawa sepeda. Biar ringan dipanggul!
Keluar dari pintu rumah dengan berpakaian rapi. Ketika sampai di tepi sungai pertama, aku akan buka pakaian. Menyeberangi sungai sambil membopong sepeda. Terus, sampai di seberang, berpakaian rapi lagi.
Saat bertemu jembatan kedua. Akan melakukan hal yang sama, kan? Begitu juga saat pulang! Aku tak sampai hati bermimpi, jika ada yang berniat memanggul motor atau mobil saat menyeberangi sungai. Entah, kalau sekarang ada Hulk!
Aku juga membayangkan, bagaimana dengan Bibik penjual sayur, Mamang Bakso dan Abang Siomay? Belum lagi guru dan anak sekolah? Pegawai, Polisi, Tentara atau Dokter yang juga harus melewati dua jembatan itu?Â
Atau, jejangan kemudian ada ide efektif dan efisien. Bekerja di pinggir sungai. Belajar di pinggir sungai. Berbelanja di pinggir sungai. Berobat, mengurus SIM dan lain-lain cukup di pinggir sungai. Sebab, aneka profesi sudah saling jumpa. Iya, kan? Pasti seru! Tapi, malah balik seperti cerita jaman dulu!
Bagiku, Kompasiana telah menjelma menjadi jembatan. Sebagai pemutus jarak, ruang dan waktu atas nama cinta. Kok bisa? Aku tulis ceritaku, ya?
"Mbak. Makasih, ya? Bang Iwan pasti senang!"
Kemarin, melalui whatsapp, kukirim pesan dan ucapan itu, setelah tahu, jika tulisan Kisah Penakluk Kebocoran dan Pengendali Angin untuk event Usaha Mikro yang digawangi Komunitas Penulis Berbalas dan Mbak Widz masuk tiga besar. [pengumuman bisa baca di sini]
Sesuai ketentuan, hadiah mesti diserahkan kepada pelaku usaha. Aku langsung membayangkan, raut Bang Iwan yang terkejut, ketika kuserahan uang hadiah itu. Sebab aku menulisnya diam-diam tanpa pemberitahuan.
Namun, kesenangan itu sesaat terjeda, pesanku dibalas agak lama. Aku lupa, jika Mbak Widz bermukim di Amerika. Dan, yang membuat isi kepalaku merana, Mbak Widz malah membalasnya dengan menggunakan "huruf-huruf kusut", aku mesti bolak-balik membuka kamus tua.
"Now. Can I change their life? Of Course not! But I can make a difference even only one  person just for one day. That means a world to me."
Pagi tadi. Sesudah mengantar anak ke sekolah. Aku menuju Kedai Makwo Ita. Tempat aku biasa ngopi. Persis di sebelah kedai itu, lapak Tambal Api Bang Iwan berada. Kulihat Bang Iwan sedang menambal ban seorang pelanggan.
Untuk meyakinkan asal-usul hadiah. Terpaksa kubuka rahasia dan membiarkan Bang Iwan membaca artikelku, juga pengumuman event tersebut. Bang Iwan mengucapkan terima kasih, sambil mendoakan semoga sehat dan umur panjang bagi yang punya hajat.
Tak selesai di situ. Bang Iwan diam-diam "beraksi". Ternyata, "mencicipkan" uang hadiah itu kepada Pedagang mi pangsit, beberapa Pengendara Ojek yang ada di pangkalan, termasuk Makwo Ita yang menceritakan aktivitas itu kepadaku.
"Sorry Jack. I Tried to compose myself in toilet!"
Aku belum tahu banyak tradisi di Amerika. Aku hanya diberitahu, Mbak Widz menangis, karena uang hadiah itu tidak Bang Iwan nikmati sendiri, namun juga mau berbagi. Dan aku jadi tahu, di Amerika kalau mau menangis mesti ngumpet ke toilet!Â
Aku tentu saja gak ikutan nangis. Berlagak bak filosof kesasar, aku menulis lagi.
"Hematku, kalau Mbak bergerak atas nama cinta. Maka cinta mampu memberikan kado terindah. Tanpa disangka dan tanpa diminta."
"Hadeuh! Jangan bikin aku ke toilet lagi!"
Begitulah! Aku tak akan melanjutkan kisah ini lagi. Khawatir, semua orang di Amerika akan ke toilet, gegara Mbak Widz! Hiks...
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H