Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Cokelat di Bawah Bantal

14 Februari 2021   15:57 Diperbarui: 14 Februari 2021   17:12 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
cokelat dan mawar merah (sumber gambar: pixabay.com)

"Aku..."

Lagi. Pita suaraku enggan bergetar. Dikalahkan debar jantung yang berlomba dengan kecipak debur ombak. Desau angin senja pun memaksa paru-paru memilah dan memompa sisa udara, agar bersemayam tenang di dada dan kepala.

Enam bulan berlalu sejak aku mengenalmu. Selalu begitu. Langit jingga, mungkin saja tertawa. Namun senja adalah sekutu untuk menyimpan sebuah rahasia. Saat benakku tak kuasa meredam bisikan hati. Berucap, "aku menyayangimu!"

Sesaat, manik matamu beralih menatapku. Hanya sesaat. Dan, pandangmu kembali mengeja kerlip lampu-lampu perahu kayu nelayan, yang perlahan menjauh dari bibir pantai. Sepelan anganku yang kembali menjauh. Tak bernyali melempar sauh.

"Sudah azan magrib. Pulang, yuk?"

Kau menatapku. Aku memilih menatap legam rambut yang tergerai di bahumu. Aku tahu. Tak ada senyummu untukku.

***

"Kau mau?"

Tak ada jawabmu. Bisu adalah tembok pertahanan paling ampuh bagimu. Jika tak kau temukan satu kata yang mampu kau lontarkan untuk meyakinkanku.

Kau tahu inginku. Aku pun mengerti inginmu. Andai kau tahu, sesungguhnya, kau dan aku sedang menoreh sejarah. Mereguk rasa untuk memiliki, tanpa berucap janji.

"Tapi, Ayah dan ibu belum..."

"Itu urusanku. Kau mau?"

Empat tahun bersama menjejaki perjalanan waktu. Kau pasti mengenal getar suara itu.

"Kau percaya aku, kan?"

Wajahmu tertunduk. Jemari dua tanganmu bertaut. Ruang tamu dikuasai bisu. Dan, kubiarkan kau merelakan bulir bening di sudut matamu.

***

"Terima kasih, Mas. Aku..."

Tak selesai bisikmu. Terburu, kau lepaskan telapak kananmu. Mengajak jemari tangan kirimu memburu sehelai tisu. Air matamu menabur benih-benih kepercayaan. Air mata ayah dan ibumu menanam benih-benih kerelaan.

Mataku memetik butir-butir bahagia yang disemai ratusan tatap mata, saat tanganmu menyentuh lengan kiriku, menyalami tamu undangan di hari pernikahan. Enam tahun, waktu yang tak sebentar untuk menggores satu kata. Memiliki.

Tak ada benteng kukuh yang mampu menahan laju asa. Tak ada curam jurang yang bisa menghentikan lalu rasa. Pun tak akan pernah ada yang sanggup menghapus kata cinta. Jika keyakinan bersatu padu. Menyusun tunggu menaklukkan keangkuhan waktu.

"Simpan air mata itu. Untuk nanti!"

Kau tak pernah mendengar kalimat itu. Kupendam diam, di antara mimpi-mimpi malam yang kelamku.

***

"Selamat ulang tahun, ibuku sayang!"

Kulihat tangan mungil itu memeluk erat lehermu. Menghujani wajahmu dengan bibirnya yang tak henti mengungkap rasa. Di ujung tempat tidur, kau tersenyum menatapku yang berdiri di pintu kamar.

"Kenapa Ayah tak bilang selamat?"

Tubuh mungil berusia delapan tahun itu meloncat dari tempat tidur, berlari memburuku dan menarik tangan kananku menghampirimu.

"Selamat ulang tahun, Cantik!"

"Kenapa tak pakai kata sayang?"

"Ibu cantik, kan?"

"Iya. Tapi Ayah curang!"

Gadis kecilmu berlari keluar kamar. Kembali dengan dua tangan membawa kue ulang tahun. Kau tertawa. Saat tubuh kecil itu kembali lincah berlari keluar kamar. Dan tergesa menyerahkan korek api kepadaku. Bagiku, hanya ada dua kue ulang tahun. Untukmu dan gadis kecilmu.

"Lupa! Ayah, lilinnya belum nyala!"

"Siap, cantik nomor dua!"

"Kemarin, aku mau beli hadiah cokelat untuk ibu. Tapi Ayah gak boleh! Kan, ibu lahir saat Valentine Day? Bilang temanku, hadiahnya harus cokelat!"

Kau tersenyum memeluk tubuh gadismu. Sepuluh tahun memilikimu. Kau tak akan melupakan kebiasaanku di hari ulang tahunmu. Menyembunyikan sebatang cokelat di bawah bantal. Saat kau terlelap dalam tidurmu.

***

"Ayah. Hari ini ibu ulang tahun, kan? Kenapa kita tidak..."

Tujuh tahun berlalu. Aku bisa saja melupakan kue ulang tahun. Aku pun terbiasa, tak lagi menyediakan sebatang cokelat di bawah bantalmu. Tapi, aku tak mampu menghapus ingatanku dan air mata gadismu pada hari ulang tahunmu.

"Doakan ibu. Sesudah hujan, kita ziarah ke tempat ibu."

Curup, 14.02.2021

zaldychan

[Ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun