Dua hal ini, seperti mata uang yang bergelut dan saling berkelindan. Ada kalanya, isi kritiknya bagus, tajam dan membangun. Namun cara menyampaikannya kasar dan sarkasme. Maka tujuan kritik tak akan terpenuhi. Sebab, perasaan mengalahkan logika. Dan itu manusiawi, kan?
Sebaliknya. Ada yang bertutur dengan sopan, lemah lembut, diniatkan sebagai kritikan. Tapi tanpa isi! Seperti menonton pertandingan klub Barcelona, tapi duduk di kursi paling atas stadion Camp Nou. Yang terlihat hanya titik-titik. Dan ikut teriak saat terjadi gol!
Lebih gawat lagi. Jika berhadapan dengan kritikus yang "asal sorong". Pembahasan tentang apa, penjelasan arahnya ke mana. Namun, merasa senang, ketika mendapat atensi banyak orang. Contoh? Aih, temukan sendiri aja, ya?
Sependektahuku. Kritik tak hanya berhenti pada tuturan lisan dan tulisan. Namun juga berujung aksi agar terjadi perubahan. Tak hanya skala kecil, namun juga berdampak secara global.
Penyuka sejarah, akan mengingat aksi long march yang dipimpin Mahatma Gandhi. Dikenal dengan istilah Ghandi Salt March (Tahun 1930). Aksi ini, akibat Undang-undang Salt Act yang melarang jual beli garam bagi negara koloni Inggris. Tahun 1947, aturan tersebut dihapus.
Di Jerman, ada aksi "The Monday Demonstration", dalam durasi panjang (1982-1989). Bermula dari pesan perdamaian di sebuah gereja, kemudian menarik banyak pengikut. Hingga mampu meruntuhkan Tembok Berlin yang memisahkan Jerman Barat dan Jerman Timur.
Di Indonesia? Angkatan 66 menjadi pilot gerakan perubahan dalam aksinya usai peristiwa G30 S/PKI. Aksi itu melahirkan Tritura. Aksi angkatan 98 menjadi Gerbang Reformasi. Jangan lupa aksi Malari (1974). Ada juga aksi menolak RUU KUHP, UU KPK dan Omnibus Law (2019).
Ajuan aksi di atas, hematku sebagai muara dari "tersendatnya" komunikasi dan manajemen kritik plus manajemen krisis. Mulai dari pusat-pusat kekuasaan hingga lingkaran terluar kekuasaan. Dan bisa menjadi bola liar, bahkan menciptakan kondisi tak terduga.
Saat ini, kehebohan demi kehebohan datang dan pergi di ruang publik. Silakan lihat pemberitaan di media elektronik, atau membaca di media cetak. Belum lagi media massa online dan media sosial yang menemani hingga ke kamar tidur.