Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pernikahan adalah "Ruang Belajar" Seumur Hidup, Bukan Sekali Seumur Hidup

8 Februari 2021   14:04 Diperbarui: 9 Februari 2021   15:55 3498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi puzle hati (sumber gambar: pixabay.com)

"Ada empat persyaratan dalam setiap pernikahan bahagia. Yang pertama adalah keyakinan, dan sisanya adalah kepercayaan."

Sepakat dengan kalimat di atas? Boleh juga tidak sepakat, karena makna ikatan pernikahan tak sesederhana kalimat itu, ya?

Tak jarang, calon pasangan yang akan memutuskan menikah, acapkali mencari referensi yang ideal. Dengan harapan memperoleh jawaban serta gambaran pasti untuk membuka tabir misteri sebuah pernikahan. Setidaknya menambah keyakinan dan kepercayaan.

Bila berpijak dari pengalaman orang-orang yang menjalani pernikahan terlihat "adem ayem", maka pernikahan menjanjikan taman kebahagiaan. Sebaliknya, jika berkaca pada pengalaman pahit orang di sekitar, maka pernikahan pun menyediakan belantara penderitaan.

ilustrasi puzle hati (sumber gambar: pixabay.com)
ilustrasi puzle hati (sumber gambar: pixabay.com)
Tiga Sudut Pandang tentang Persiapan Menikah

Menikah, tak lagi ikatan antara dua orang. Namun juga pelibatan keluarga besar bahkan jiran tetangga. Tak hanya bicara rasa cinta atau urusan finansial semata, termasuk di dalammya perihal agama hingga budaya.

Secara kiramologi, setidaknya ada tiga sudut pandang tentang persiapan pernikahan. Aku tulis, ya?

Pertama. Memasuki Gerbang Pernikahan seperti Memasuki Gerbang Tol.

Tak sekadar menyediakan dana ekstra untuk membeli tiket! Tak hanya memeriksa kondisi terbaik kendaraan yang dimiliki. apatah layak jalan dengan kecepatan stabil. Tapi juga kondisi fisik dan psikis pengendara, agar terhindar dari hal-hal di luar perhitungan atau mengerikan.

Begitu juga saat memutuskan menikah. Segala hal yang terangkum dalam bobot, bibit, bebet dipersiapkan. Agar jalannya pernikahan seperti jalan tol. Lancar jaya, tanpa hambatan. Tak jarang, malah menjadi beban! Seperti tarif tol yang setiap tahun naik, kan?

Kedua. Menaiki Jenjang Pernikahan sebagai Pertaruhan.

Tanyakanlah pada kaum bucin! Berbekal peluru kalimat, "kaulah segalanya!". Dengan modal nekat atau apalah sebutannya. Maka, situasi dan kondisi diciptakan dan dipaksakan. Yang penting menikah. Blas!

Istilah kawin lari, menikah tanpa restu, menikah diam-diam atau jodoh di tangan hansip. Menggambarkan motif pernikahan dengan kategori ini. Ada yang kuat dan siap menghadapi segala kemungkinan dan  risiko dari pertaruhan itu, banyak juga yang gagal dan mereguk malu serta berakhir pilu.

Ketiga. Pintu Pernikahan seperti Pintu Ruang Tamu.

Ini serius! Ada yang menganggap pernikahan itu seperti pintu ruang tamu. Bagi orang yang datang bertamu, setelah mengucap salam dan mengetuk pintu rumah, kemudian berdiri menanti kepastian. Jika pintu terbuka, akan bersyukur. Bila tidak dibuka, akan pulang dan menghilang.

Bagi pemilik rumah. Pasti terasa aneh, memiliki ruang tamu namun tak ada yang bertamu, kan? Maka tak jarang berharap ada yang datang bertamu. Nah, keduanya memiliki rumus sama, "menunggu, dan menunggu". Sampai kapan? Aku tak bisa jawab! Hiks...

ilustrasi cincin pernikahan (sumber gambar: pixabay.com)
ilustrasi cincin pernikahan (sumber gambar: pixabay.com)
Menikah Itu tentang Keputusan

Seperti halnya menulis. Menikah itupun kata kerja. Tak akan pernah ada tulisan, selama ide masih terpendam di dalam pikiran. Solusinya? Lakukan! Menikah pun begitu. Tak akan ada pernikahan jika hanya dibayangkan. Mudah, kan?

"Kalau menikah semudah itu, tak akan ada barisan sukarelawan jomlo, Bang!"

"Jomlo itu pilihan, tapi menikah adalah tentang keputusan, Bro!"

Begitulah! Aku pribadi, masih memegang kukuh, bahwa menikah itu persoalan pengambilan keputusan.

Acapkali pengambilan keputusan itu, melewati jembatan timbangan yang rumit dan sulit. Dengan alasan hajat kehidupan di masa depan, maka pertimbangan pun melalui rute objektif dan subjektif nan panjang. Aih, malah mirip-mirip lagak pejabat atau anggota dewan!

Ada yang melakukan persiapan menikah dengan "mengidentifkasi masalah" yang mungkin akan terjadi saat atau sesudah menikah, ada juga yang melalui percakapan dan perdebatan panjang, rumit dan sengit untuk "menentukan arah dan tujuan" serta kriteria pernikahan ideal.

Kemudian mencari dan "menyigi role model" sebuah pernikahan. Apatah pernikahan orang tua, saudara, teman, tokoh publik atau selebriti. Semua di analisis! Hingga kemudian menetapkan titik temu "pilihan model" pernikahan terbaik.

Jika meminjam konsep manajemen kepemimpinan. Secara ringkas, ada 2 teori keputusan yang acapkali digunakan. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Pertama. Keputusan Normatif.

Dalam bahasa sederhana, keputusan ini lahir berdasarkan alasan-alasan yang rasional dan masuk akal. Misal saling mencintai dan memiliki, serta bersedia untuk "take and give" dan saling melengkapi. Selain pertimbangan usia biologis dan psikis.

Kedua. Keputusan Deskriptif.

Keputusan ini dilatari bukti empirik, atau hasil pengamatan, percobaan bahkan ditunjang dengan ukuran angka statistik. Tak jarang, menikah pun ada yang melalui rute ini, bahkan sampai kepada untung rugi! Semua diamati secara terukur dan presisi.

Namun, dua teori keputusan itu, juga berujung pada dua kemungkinan dalam sebuah pernikahan. Keberhasilan atau kegagalan.

ilustrasi pasangan berusia tua (sumber gambar: pixabay.com)
ilustrasi pasangan berusia tua (sumber gambar: pixabay.com)
Menikah Itu "Ruang Belajar" Seumur Hidup, Bukan Sekali Seumur Hidup

Hematku. Jika ingin menikah. Lakukanlah! Kemudian, jalani dan nikmati setiap proses yang terjadi. Sebab, menikah bukan layaknya rumus matematika yang berujung hasil pasti. Pun, tak perlu berpanjang-panjang melakukan analisis dan kajian risiko.

Bukan bermaksud menerjunkan diri ke jurang dalam. Namun, tak banyak yang bisa dilakukan dalam sebuah ketidakpastian, kan? Jika menikah, akan ada ikatan pasti.

Sebesar apapun rasa cinta, sebanyak apapun harta benda, atau apapun bidang keilmuan dan keterampilan yang dimiliki, akan nirmakna. Jika tanpa keyakinan dan kepercayaan.

Pernikahan itu adalah ruang belajar terhadap keyakinan dan kepercayaan. Seumur hidup, bukan sekali seumur hidup.

Curup, 08.02.2021
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun