Acapkali pengambilan keputusan itu, melewati jembatan timbangan yang rumit dan sulit. Dengan alasan hajat kehidupan di masa depan, maka pertimbangan pun melalui rute objektif dan subjektif nan panjang. Aih, malah mirip-mirip lagak pejabat atau anggota dewan!
Ada yang melakukan persiapan menikah dengan "mengidentifkasi masalah" yang mungkin akan terjadi saat atau sesudah menikah, ada juga yang melalui percakapan dan perdebatan panjang, rumit dan sengit untuk "menentukan arah dan tujuan" serta kriteria pernikahan ideal.
Kemudian mencari dan "menyigi role model" sebuah pernikahan. Apatah pernikahan orang tua, saudara, teman, tokoh publik atau selebriti. Semua di analisis! Hingga kemudian menetapkan titik temu "pilihan model" pernikahan terbaik.
Jika meminjam konsep manajemen kepemimpinan. Secara ringkas, ada 2 teori keputusan yang acapkali digunakan. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Pertama. Keputusan Normatif.
Dalam bahasa sederhana, keputusan ini lahir berdasarkan alasan-alasan yang rasional dan masuk akal. Misal saling mencintai dan memiliki, serta bersedia untuk "take and give" dan saling melengkapi. Selain pertimbangan usia biologis dan psikis.
Kedua. Keputusan Deskriptif.
Keputusan ini dilatari bukti empirik, atau hasil pengamatan, percobaan bahkan ditunjang dengan ukuran angka statistik. Tak jarang, menikah pun ada yang melalui rute ini, bahkan sampai kepada untung rugi! Semua diamati secara terukur dan presisi.
Namun, dua teori keputusan itu, juga berujung pada dua kemungkinan dalam sebuah pernikahan. Keberhasilan atau kegagalan.
Hematku. Jika ingin menikah. Lakukanlah! Kemudian, jalani dan nikmati setiap proses yang terjadi. Sebab, menikah bukan layaknya rumus matematika yang berujung hasil pasti. Pun, tak perlu berpanjang-panjang melakukan analisis dan kajian risiko.