Kedua. Menaiki Jenjang Pernikahan sebagai Pertaruhan.
Tanyakanlah pada kaum bucin! Berbekal peluru kalimat, "kaulah segalanya!". Dengan modal nekat atau apalah sebutannya. Maka, situasi dan kondisi diciptakan dan dipaksakan. Yang penting menikah. Blas!
Istilah kawin lari, menikah tanpa restu, menikah diam-diam atau jodoh di tangan hansip. Menggambarkan motif pernikahan dengan kategori ini. Ada yang kuat dan siap menghadapi segala kemungkinan dan  risiko dari pertaruhan itu, banyak juga yang gagal dan mereguk malu serta berakhir pilu.
Ketiga. Pintu Pernikahan seperti Pintu Ruang Tamu.
Ini serius! Ada yang menganggap pernikahan itu seperti pintu ruang tamu. Bagi orang yang datang bertamu, setelah mengucap salam dan mengetuk pintu rumah, kemudian berdiri menanti kepastian. Jika pintu terbuka, akan bersyukur. Bila tidak dibuka, akan pulang dan menghilang.
Bagi pemilik rumah. Pasti terasa aneh, memiliki ruang tamu namun tak ada yang bertamu, kan? Maka tak jarang berharap ada yang datang bertamu. Nah, keduanya memiliki rumus sama, "menunggu, dan menunggu". Sampai kapan? Aku tak bisa jawab! Hiks...
Seperti halnya menulis. Menikah itupun kata kerja. Tak akan pernah ada tulisan, selama ide masih terpendam di dalam pikiran. Solusinya? Lakukan! Menikah pun begitu. Tak akan ada pernikahan jika hanya dibayangkan. Mudah, kan?
"Kalau menikah semudah itu, tak akan ada barisan sukarelawan jomlo, Bang!"
"Jomlo itu pilihan, tapi menikah adalah tentang keputusan, Bro!"
Begitulah! Aku pribadi, masih memegang kukuh, bahwa menikah itu persoalan pengambilan keputusan.