Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Suatu Saat, Akan Ada "Jarak" antara Orangtua dan Anak

5 Februari 2021   07:15 Diperbarui: 5 Februari 2021   22:39 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustatrasi orangtua dan anak (sumber gambar : pixabay.com)

"Butuh adaptasi. Tapi seru, Bang!"

"Deg-degan lihat pergaulan anak sekarang."

"Aku sering emosi, Bang!"

Aku memilih tiga varian jawaban spontan ini, usai kuajukan satu pertanyaan di WA grup Parenting khusus ayah. "Bagaimana rasanya punya anak ABG?"

Lontaran pertanyaan itu, adalah upayaku secara pribadi melakukan perbandingan. Sebab, sepasang anakku saat ini, secara usia masuk kategori ABG.

Karena aku tak mebuat batasan usia atau jenis kelamin, pertanyaan itu pun memiliki tanggapan yang bersifat terbuka. Dari pertanyaan tentang ABG, malah kudapatkan kisah-kisah yang melar dan melebar! Jadi, aku sarikan saja, jumpalitan chit-chat di grup itu, ya?

Ilustatrasi orangtua dan anak (sumber gambar : pixabay.com)
Ilustatrasi orangtua dan anak (sumber gambar : pixabay.com)
Perjalanan Panjang "Keberadaan" Seorang Anak

Pada awalnya, keberadaan anak dalam ikatan pernikahan, tak hanya sebagai buah cinta atau amanah dari Tuhan. Namun, juga sebagai "pengikat" keutuhan rumah tangga.

Banyak kasus, jika "keberadaan" anak acapkali menggagalkan peningkatan rating angka perceraian. Sebaliknya, "ketiadaan" anak terkadang menjadi faktor pemicu dan unsur pemacu, kenaikan angka perceraian.

Keberadaan anak, mengubah status pasangan. Awalnya hanya sebagai suami atau istri dengan berbagai hak dan kewajiban. Kemudian naik jabatan sebagai "orangtua". Menjadi ayah atau sebagai ibu pun berdampak luas pada hak dan kewajiban, tah?

Jika diberi kesehatan dan umur panjang, jabatan ayah atau ibu, akan bertambah panjang juga. Dengan hadirnya panggilan kakek dan nenek, hingga uyut atau eyang. Dan, berhenti di situ.

Namun keberadaan anak bagi orangtua, tak sesederhana itu. Anak tak sekadar lambang cinta dan amanah dari Tuhan semata. Setidaknya, ada 2 alasan mendasar.

Pertama. Anak adalah pembuktian dan kehormatan.

Kelahiran anak, kerapkali dianggap sebagai pembuktian. Bagi lelaki, itu sebagai wujud "keperkasaan". Bagi perempuan, belum merasa sempurna dan tak lengkap jika belum melahirkan seorang anak.

Banyak kisah yang bisa dilihat atau dibaca tentang perjuangan panjang pasangan, agar dikarunia anak. Apapun rela dilakukan. Iya, tah?

Kedua. Anak adalah asset dan investasi masa depan.

Aih, bukan bermaksud materialistik. Poin ini bermakna memperpanjang generasi atau anak keturunan, bukan hanya sekadar harta kekayaan. Bayangkan jika seorang raja, ratu, atau pasangan orang kaya tujuh turunan tanpa anak?

Jangan tanya, kebanggaan marga Batak jika mendapatan anak. Setidaknya, mereka menjadi pewaris marga ayahnya. Apalagi laki-laki! Di Minang, sebaliknya! Keberadaan anak perempuan disyukuri sebagai perpanjangan suku.

Kukira, semua orangtua akan sepakat dengan dua alasan di atas. Dan, latar belakang perbedaan sosial, ekonomi, tingkat pendidikan, adat budaya serta agama dan kepercayaan, yang membedakan pada pola asuh, tah?

Ilustatrasi Ibu dan anak (sumber gambar : pixabay.com)
Ilustatrasi Ibu dan anak (sumber gambar : pixabay.com)
Suatu Saat, Akan Ada "Jarak" antara Orangtua dan Anak

Setiap orangtua mengalami pengalaman yang berbeda saat berinteraksi dengan anak. Tak hanya tentang karakter individual, juga perubahan yang bisa terjadi setiap saat. Tanpa diduga atau disadari.

Saat berusia balita. Anak menjadi muara curahan perhatian dan kasih sayang. Tentu saja, setiap orangtua memiliki cara dan gaya "pengorbanan" masing-masing, agar tumbuh kembang anak sesuai harapan. Jargon "demi anak!" berdiri di jajaran terdepan.

Orangtua tak hanya memikirkan asupan gizi dan makanan, faktor kesehatan dan kebutuhan kebendaan semisal pakaian dan mainan. Tapi juga aspek edukasi hingga psikologi anak. Semua hal terbaik ingin diberikan untuk anak, tah? Kedekatan jarak menjadi faktor utama.

"Ayah salah! Kata Ummi TK..."

"Iya, Bu. Tapi, bilang Tadzah..."

Kalimat itu akan diterima orangtua. Seiring pertambahan usia dan perkembangan emosi anak, Terutama saat usia sekolah. Anak mulai menerima pengaruh "orang luar" selain keluarga terdekat.

Interaksi antara orangtua dan anak mulai berjarak. Orangtua musti bersiap, tak lagi berada di "pusat kekuasaan". Akan hadir "pengaruh" guru, teman-teman atau orang dewasa lainnya di sekitar kehidupan anak.

Terus, bagaimana dengan anak yang masuk kategori ABG?

Ilustatrasi Ayah dan anak (sumber gambar : pixabay.com)
Ilustatrasi Ayah dan anak (sumber gambar : pixabay.com)
Orangtua Butuh Adaptasi seperti Bunglon?

Maafkanlah, bila aku memilih bunglon. Namun sukar mencari perumpamaan yang persis untuk kemampuan dan kecepatan beradaptasi.

Namun, begitulah menurutku kebutuhan yang dhadapi, jika memiliki anak beranjak remaja atau ABG. Ada beberapa alasan yang bisa kuajukan.

Pertama. Anak mulai ingin dianggap sebagai manusia dewasa.

Orangtua akan mengalami rute semisal, anak minta dipasangkan celana atau baju, mulai belajar pakai sendiri, kemudian malah malu jika dipakaikan atau diatur cara berpakaian. Akhirnya orangtua mesti pasrah menerima, walau mereka pakai terbalik. Hiks...

Saat beranjak ABG. Tak hanya tentang pakaian. Perubahan itu lebih besar lagi. Anak ingin membuktikan bisa melakukan apapun "tanpa" bantuan orangtua. Dan, orangtua bertukar fungsi menjadi pengarah tentang benar-salah, baik-buruk atau pantas-takpantas.

Kedua. Pergeseran dari dibantu jadi membantu (Asistensi).

Bagiku, tanpa disadari. Ada perubahan sangat signifikan jika memiliki anak ABG. Jika semasa kanak-kanak keberadaan orangtua dituntut membantu aktivitas serta kebutuhan anak. Maka, saat anak beranjak ABG, malah sebaliknya. Anak-anak yang membantu orangtua.

Terkadang, asistensi anak kategori ABG tak hanya di lingkup domestik kegiatan rumah tangga. Semisal membersihkan rumah, memasak, atau mencuci. Banyak kasus, anak ABG malah menjadi tulang punggung keluarga. Barisan kisah sukses artis cilik, bisa dijadikan contoh.

Ketiga. Menjadi lawan, kawan atau keduanya.

Banyak drama tersaji jika bicara hubungan orangtua dan anak, kan? Adalah bohong,jika hubungan itu damai dan lurus-lurus saja. Akan ada ledakan emosi, teriakan amarah atau pertengkaran. Dengan kadar "pertempuran" secukupnya hingga "perlawanan" dahsyat!

Akupun melihat banyak orangtua yang berinteraksi dengan anaknya. Tak lagi selayaknya orangtua dengan anak. Tapi seperti jalinan pertemanan yang hangat dan penuh canda tawa. Kukira, jika sudah begini, level adaptasi orangtua tersebut sudah sangat luar biasa.

Jadi?

Begitulah! Jika mampu menjadi orangtua bagi anak, pasti istimewa. Sebab, butuh adaptasi terhadap sikap maupun perilaku. Baik perubahan pada diri anak, maupun pada diri sendiri.

Menjadi orangtua, artinya harus siap selalu berubah. Hal itu akan terus terjadi, dan berulang kali. Hingga sang buah hati menapaki jenjang kehidupan hingga dewasa dan berumah tangga.

"Bang! Pernah dengar orang pensiun sebagai orangtua?

"Hah!"

***

Curup, 05.02.2021

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun