"Butuh adaptasi. Tapi seru, Bang!"
"Deg-degan lihat pergaulan anak sekarang."
"Aku sering emosi, Bang!"
Aku memilih tiga varian jawaban spontan ini, usai kuajukan satu pertanyaan di WA grup Parenting khusus ayah. "Bagaimana rasanya punya anak ABG?"
Lontaran pertanyaan itu, adalah upayaku secara pribadi melakukan perbandingan. Sebab, sepasang anakku saat ini, secara usia masuk kategori ABG.
Karena aku tak mebuat batasan usia atau jenis kelamin, pertanyaan itu pun memiliki tanggapan yang bersifat terbuka. Dari pertanyaan tentang ABG, malah kudapatkan kisah-kisah yang melar dan melebar! Jadi, aku sarikan saja, jumpalitan chit-chat di grup itu, ya?
Pada awalnya, keberadaan anak dalam ikatan pernikahan, tak hanya sebagai buah cinta atau amanah dari Tuhan. Namun, juga sebagai "pengikat" keutuhan rumah tangga.
Banyak kasus, jika "keberadaan" anak acapkali menggagalkan peningkatan rating angka perceraian. Sebaliknya, "ketiadaan" anak terkadang menjadi faktor pemicu dan unsur pemacu, kenaikan angka perceraian.
Keberadaan anak, mengubah status pasangan. Awalnya hanya sebagai suami atau istri dengan berbagai hak dan kewajiban. Kemudian naik jabatan sebagai "orangtua". Menjadi ayah atau sebagai ibu pun berdampak luas pada hak dan kewajiban, tah?
Jika diberi kesehatan dan umur panjang, jabatan ayah atau ibu, akan bertambah panjang juga. Dengan hadirnya panggilan kakek dan nenek, hingga uyut atau eyang. Dan, berhenti di situ.