Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Selamat Jalan, Daeng! Akhirnya, Kau Leluasa Diskusi tentang Diksi Puisi

21 Januari 2021   17:37 Diperbarui: 21 Januari 2021   20:13 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Daeng Arman Syarif Kompasianer dari Makasar (Sumber Gambar: Akun facebook Arman Syarif)

"Daeng sibuk? Belum menulis puisi, kah?"

Daeng adalah sapaan akrabku untuk Arman Syarif. Kalimat di atas merupakan pertanyaan berkala yang kuajukan, saat berkomunikasi pribadi melalui pesan Whatsapp.

"Kembali daring, Sir! Lagi sedikit ribet!"

"Aku unggah satu hari ini, tapi gak pilihan, Sir! Hiks..."

"Sir, aku udah nulis hari ini!"

Sir, pilihan sapaan Daeng Arman untukku. Dan, sejak hari ini, tak akan ada lagi percakapan itu. Usai kubaca tulisan dari rekan Kompasianer Ahmad Abni (21/01/2021). Daeng menemui Tuhannya, hari Rabu, 20 Januari 2021.

Di antara rasa malu mengaku sebagai teman, namun mengetahui kepergian selamanya seorang sahabat dari sebuah tulisan, bukan lagi sekadar rasa kehilangan. Tapi, sebuah kesalahan. Aku telah berlaku abai dan fokus pada kesibukan sendiri!

Kali ini, aku tulis sependektahuku tentang Daeng Arman Syarif. Anggaplah sebagai catatan akhir untuk keberadaan orang baik yang pernah ada di sekitarku.

Penghargaan dari Kompasiana (sumber gambar: Akun facebook Arman Syarif)
Penghargaan dari Kompasiana (sumber gambar: Akun facebook Arman Syarif)
"Persaingan" Teman Satu angkatan.

Daeng Arman Syarif bergabung di Kompasiana tanggal 09 Desember 2018. Aku dua puluh hari kemudian, pada tanggal 29 Desember 2018. Jika Kompasiana mengenal sistim angkatan, maka aku dan Daeng adalah teman satu angkatan.

Sebagai pendatang baru yang memilih berjibaku di kanal fiksi. Aku mengenal dan melahap karya dari Mas Mim Yudiarto, Mbak Lilik Fatimah Azzahra, Pak Rustian Al Ansori, Pakdhe Ropingi, Mas Suko Waspodo, Mbak Anis Hidayati, Mbak Apriani Dinni, Mbak Ekriyani dan Mbak Ari Budiyanti.

Tentu saja aku mengenal sosok dan puisi karya Daeng Arman Syarif. Saling bertukar sapa dalam kolom komentar dan memberikan vote adalah ritual. Berkali, aku tanpa sadar terlibat dalam "pertarungan". Berlomba mengunggah puisi.

"Persaingan" tak langsung itu, melibatkan Pakde Ropingi, Pak Rustian, Mas Mim dan Mas Suko yang lebih senior. Serta Daeng Arman dan aku yang masih unyu-unyu. Acapkali dalam satu hari, bisa saja mengunggah 5, 7, hingga 10 puisi.

Jangan heran, pada perhelatan Kompasianival 2019. Daeng Arman Syarif mendapat penghargaan sebagai Penulis Paling Aktif yang mencapai lebih dari 900 tulisan dalam satu tahun dari Kompasiana.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Sosok Pemberontak dan Perindu

Dua hal ini, gampang diketahui jika mengikuti perjalanan tulisan Daeng Arman. Kritikan atas ketidakadilan dituangkan dalam puisi dengan diksi yang singkat dan bernas. Sangat mudah "menuduh" Daeng pernah sebagai mahasiswa yang "nakal" juga seorang demonstran.

Kata "demokrasi", "nasionalisme", "kapitalis", akan berbaur dengan diksi "batu", "waktu", "rindu", dan "kopi". Kusajikan 5 kutipan di antara ribuan puisi Daeng Arman. Berbincang tentang diri sendiri, orang-orang di sekitar, keinginan, juga tentang Tuhan.

Pertama. Kutipan puisi berjudul "Tuan Kapitalis Gigit Jari, Bumi Sehat" (Gowa, 19 April 2020)

Tuan kapitalis, kamu gigit jari kan?
merosot laba pemasukan
melangit target terabaikan
lantaran makhluk kecil mematikan

Inilah jalan kapitalisme menuju kematian
terhebat sepanjang sejarah kemanusiaan

Kedua. Kutipan puisi dengan judul "Aku Penyuka Batu" (Gowa, 12 Mei 2020)

Aku penyuka batu
dari batu
kupetik satu kebenaran
tentang hakikat kerelaan
seperti merelakan hujan pergi
tanpa kesenduan abadi

Ketiga. Kutipan puisi "Semangat Hidup dari Kopi Pagi" (Jeneponto, 20 November 2020)

Tak peduli. Semangat hidup lebih hadir pasti dari kopi pagi
Teguk-teguk pekat manis pahit bara tekad bulat batu terjang buntu benak batin

Keempat. Puisi "Senin" (21 September 2020)

Senin adalah hari pertama bekerja dalam sepekan. Senin adalah hari pertama mendulang materi duniawi. Tapi itu bukan seninku, seninku adalah hari pertama menabung rindu.

Kelima. Puisi berjudul "Kalau Sampai Tiba Waktunya" (19 Juli 2020)

kalau sampai tiba waktunya
aku ingin berhenti saja jadi manusia

kemudian memilih berkehidupan

tanpa pertanyaan tanpa pilihan

Buku terakhir Arman Syarif (Dok. pribadi)
Buku terakhir Arman Syarif (Dok. pribadi)
Pendidik, Pegiat Literasi dan Sosok Suami Sayang Istri.

Daeng Arman adalah seorang guru. Terakhir juga menjabat sebagai Waka Kurikulum, yang menggerus waktunya untuk menulis di Kompasiana. Alumni Jurusan PPkn FIS-UNM tahun 2007 ini, mengabdikan diri di SMK Telkom Makassar.

Jika di Kompasiana, lebih memilih menulis di kanal fiksi. Sesungguhnya, Daeng adalah seorang esais. Tulisannya beberapa kali dimuat di media massa. Tak hanya itu, Daeng juga sudah melahirkan beberapa buku.

Setahuku, terakhir meluncurkan buku "Republik yang Sedang Oleng". Berisi kumpulan esai menyigi tentang dinamika terkini Republik. Telaah buku Daeng ini bisa dibaca pada refleksi Sulhan Yusuf sebagai pembincang dalam bedah buku itu. (Baca di sini) 

Sebagai sosok suami, Daeng menjalani hubungan pernikahan jarak jauh. Secara bercanda, kubilang Daeng sedang melanjutkan pendidikan S3 (Setiap Sabtu Setor). Beberapa kali puisinya mengisyaratkan, hal itu sebagai "medan juang" untuk istri dan seorang putri yang cantik.

Karena "berjauhan" dengan keluarga kecuali di akhir pekan. Daeng terkadang mengisi waktunya bersama teman dan siswanya dengan bermain musik. Daeng seorang lead guitar. Beberapa kali rekamannya dibagikan di grup KPB juga di kanal Youtube.

Berita Kepergian Kompasianer Arman Syarif (sumber gambar: HMJ PPKn FIS UNM, via akun Kompasiana Ahmad Abni)
Berita Kepergian Kompasianer Arman Syarif (sumber gambar: HMJ PPKn FIS UNM, via akun Kompasiana Ahmad Abni)
Selamat Jalan, Daeng!

Aih! Aku tak bisa menyelesaikan tulisan ini. Terlalu banyak kesan yang hanya bisa kusimpan, dan sangat terlambat kuujarkan untuk seorang teman. Puisi terakhir berjudul "Bapak Tua Belum Pensiun" baru dua hari lalu (18/01/2021) kubaca. Ditujukan untuk sosok guru yang dihormatinya.

Bapak tua memang terbiasa lupa demi nanti
selagi daftar nyeri tak membuntuti
tiada yang sanggup melucuti

Bapak tua belum jua pensiun berbakti
sebab api tungku di dapur selalu mati

Selamat Jalan, Daeng! Kau tak bisa seperti sosok dalam puisi terakhirmu. Tak sempat tua dan pensiun. Daftar nyeri itu sudah terlucuti waktu. Kau lakukan bagianmu dengan caramu. Tak kubiarkan api tungku itu sepi. Akan kujaga dengan caraku.

Berbahagialah! Kau leluasa berdiskusi tentang diksi puisi dengan Tuhanmu!

Curup, 21.01.2021
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun