Tahap Kedua.
Mulai berpikir serta menyusun ulang reaksi. Mempertimbangkan apa yang harus, atau sebaiknya dilakukan. Bisa saja menarik nafas lega karena merasa aman. Atau malah tertawa, usai menilai diri sendiri atau orang lain keliru bereaksi serta mencari tempat berlindung.
Tahap Ketiga.
Kemudian mencari tahu. Apakah berupa fakta atau data. Tentang pusat gempa, dampak kerusakan serta jumlah korban.
Apapun kondisinya, setelah memenuhi rasa ingin tahu. Kemudian mengambil hikmah. Namun ada juga yang mengolah ulang dan membagikan informasi yang didapatkan. Namun, banyak juga yang kemudian melupakan, tah?
Dalam Edukasi Bencana apatah berupa pendidikan atau pelatihan, 3 tahapan di atas, dibalik! Urutannya menjadi:
Pertama. Mencari tahu Ancaman serta Bahaya yang ada di sekitar. Apakah tempat tinggal, tempat kerja atau sekolah. Menentukan dan menetapkan titik aman di dalam dan di luar ruangan, serta dampak terburuk apa saja yang mungkin ditimbulkan.
Kedua. Usai mengetahui unsur ancaman dan bahaya, Selanjutnya mengajak berpikir, apa saja yang bisa dilakukan sebelum, saat dan sesudah terjadi gempa. Umumnya, kepanikan saat terjadi gempa, karena reaksi tubuh tak terbiasa diajak berpikir pada situasi genting.
Ketiga. Melakukan simulasi sebelum gempa terjadi. Jika dilakukan secara rutin, hal itu akan menjadi reaksi. Sebab otak dan anggota tubuh sudah terlatih. Kebiasaan akan menciptakan kebisaan. Sebaliknya, kebisaan hadir karena kebiasaan.
Gempa tak pernah membunuh, tapi bangunan! Ini rumus awal terkait bencana gempa. Korban luka hingga kehilangan nyawa didominasi oleh pembangunan. Keliru melakukan pembangunan, akan berubah menjadi ancaman.