(I). Langit menawarkan gerimis.
Bibir mungil itu sedari tadi komat-kamit. Tak peduli suara dengung kendaraan yang lalu lalang. Sesekali wajahnya menatap langit. Dan, kembali komat-kamit. Matanya menatap uang receh di telapak tangan. Masih jauh dari jumlah setoran?
(II). Langit masih saja gerimis.
Bibir tua itu sejak tadi komat-kamit. Dua tangan perlahan menuntun tongkat besi, dua kaki terlatih berjalan di antara kendaraan yang berhenti. Sesekali wajahnya menatap langit. Dan, kembali komat kamit. Matanya menatap sepasang sandal jepit. Belum waktunya pamit?
(III). Langit baru saja menyimpan gerimis
Bibir tak bergincu letih komat-kamit. Bahunya tak henti mengayun kain gendongan. Tergesa bergerak di antara kendaraan dan tangisan. Berkali, matanya perih melirik langit. Dan, kembali komat kamit. Tangis itu butuh susu, bukan ibu. Kenapa warna lampu tak hanya satu?
(IV). Langit meretas senja
Bibir-bibir gagu berhenti komat-kamit. Saatnya meratap ke langit. Terbiasa mereguk pahit. Dan, melupakan rasa sakit. Senja adalah pertanda jeda. Pulang, dan merawat luka.Â
Tanyaku kembali tersekat jendela kaca.
Curup, 08.01.2021
zaldychan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H