"Seperti duri dalam daging!"
Kalimat menusuk ini, mungkin sering terdengar atau terujar. Hematku, tak akan ada yang bersedia dianggap duri. Pun, tak pernah ada yang ikhlas tertusuk duri, tah?
Akhirnya, hadir pertanyaan apa salah duri? Kenapa malah menjadi pelampiasan dari pengandaian rasa amarah?
Secara teoritis, duri itu tajam, kaku atau runcing. Acapkali ditemukan pada tumbuhan atau hewan. Secara kiramologi, setidaknya duri memiliki 3 (Tiga) fungsi. Aku tulis, ya?
Pertama. Perlindungan.
Agaknya, ini fungsi awal duri. Sebagai perlindungan diri. Bunga mawar acapkali dianggap cocok untuk menjelaskan fungsi ini. Mau berusaha memetiknya sebagai ungkapan cinta? Maka, berjuanglah menghindari durinya!
Kedua. Pertahanan.
Binatang landak jadi contoh terbaik dan tak terbantahkan. Bila cangkang kura-kura yang kuat dan keras hanya sebatas pelindung. Bagi landak, duri tak hanya kuat dan keras. Namun, juga sebagai pertahanan sekaligus senjata mematikan!
Ketiga. Penguatan.
Bayangkan jika ikan tanpa tulang? Begitulah fungsi tulang-tulang halus pada ikan khususnya berukuran kecil. Bagi golongan ikan, duri berfungsi untuk penguatan diri. Bagi kita duri ikan itu menyakiti gusi dan jari.
Terus, kenapa duri tak termasuk Pembeda atau Estetika sebagai suatu ciri khas? Apa jadinya bunga mawar atau kaktus tanpa duri? Kukira, unsur Pembeda dan keindahan menjadi unsur penilaian dari luar, tah?
Secara gampang, sangat mudah menghindari duri. Jangan pernah bersikap serampangan alias aktif pake bingits! Jadi, jika balik lagi ke kalimat paling atas. Kenapa memilih menyalahkan duri yang pasif?
Tak akan tertusuk duri mawar, jika menjauh atau hati-hati memetiknya. Tak akan diserang landak, jika tak mengganggunya. Serta, akan aman dari duri ikan jika tak memakan atau jari tangan tidak menyentuhnya. Iya, kan?
Duri memiliki filosofi sederhana. Kalau bahasa kampungku, "jangan diganggu, tak akan mengganggu!"
Agar diam-diam tak menyemai duri, yang akan menghambat perjalanan di masa depan. Mari menikmati tetesan hari terakhir di tahun 2020!
Sebelum kembali menimpanya dengan segazal Ingatan kisah-kisah buruk yang membuat kita terpuruk. Atau, menutupnya dengan segenap kenangan indah yang melahirkan kebahagiaan.
Lupakan dulu tentang segerombolan keinginan yang mungkin saja semakin lama, semakin sarat beban. Hingga memaksa pundak kian membungkuk. Sebab, bisa saja menghadirkan mimpi-mimpi buruk.
Caranya? Hayuk menjawab beberapa pertanyaan di bawah. Tak perlu ditulis, cukup digores dalam hati. Mau, kan?
Pertama. Apa saja yang sudah dilakukan?
"Banyak!" Kukira, itu adalah jawaban dominan yang akan dihadirkan. Bisa saja, karena bingung menghitung apa saja yang sudah dan pernah dilakukan dalam rentang waktu satu tahun terakhir, kan?
Kukira itu bukan jawaban. jika ada pertanyaan lanjutan, apa saja? Mungkin malah balik bertanya! Maksudnya tentang Pekerjaan? Keluarga? Aksi sosial? Ibadah Agama? Yang besar atau kecil? Tentang kebaikan atau kesalahan?
Terkadang, satu pertanyaan bukanlah menerima jawaban. Malah akan kembali dihujani pertanyaan! Hiks...
Kedua. Apakah itu merupakan keinginan sendiri?
Ini pertanyaan psikologis! Tersedia jebakan makna dari semua jawaban yang diujarkan.
Jika jawabannya adalah "iya", artinya telah memiliki kemerdekaan dan kebebasan secara individu. Melakukan sesuai keinginan dan kemauan. Namun, bisa saja dianggap sebagai sosok arogan, individualis atau seenake dewe!
Sebaliknya! Jika jawabannya adalah "tidak", mungkin saja dimaknai sebagai sosok yang toleran, penuh pengertian. Atau, jejangan penuh ketergantungan, tanpa pendirian atau tanpa kemampuan mengatur keinginan sendiri? Sehingga, selalu butuh sosok di luar diri.
Jawaban paling aman adalah "iya dan tidak" dengan sepasukan alasan untuk memperkuat jawaban. Jika begitu, Tinggal memastikan, mana yang lebih dominan mempengaruhi atau dipengaruhi?
Ketiga. Bermanfaatkah untuk orang lain?
"Sebaik-baiknya manusia, bermanfaat bagi orang lain."
Ini pakem yang tertera di kitab suci. Pijakannya, jika bermanfaat bagi orang lain, pasti bermanfaat bagi diri sendiri. Terkadang tanpa disadari. Hingga waktu yang memberitahu. Ada dampak positif, jauh masanya usai melakukan kegiatan bermanfaat itu.
Namun, jika bermanfaat bagi diri sendiri, belum tentu bermanfaat bagi orang lain, tah? Kecuali punya waktu untuk sibuk memberikan pengakuan serta pengumuman ke banyak orang, jika yang dilakukan itu bermanfaat! Hiks...
Keempat. Tahukah hal yang tak akan dilakukan lagi?
Bagiku, ini menjadi pertanyaan kunci, yang membutuhkan jawaban pasti. Tak perlu buru-buru memberikan jawaban. Masih ada waktu hingga pergeseran jam pada angka 00.01 WIB nanti malam di saat pergantian tahun.
Idealnya, jawaban terakhir ini, merupakan buah dari refleksi dan evaluasi diri. Kemudian menjadi pijakan awal resolusi diri pada perjalanan panjang tahun 2021. Supaya menjadi pribadi yang terus baik dan lebih baik lagi.
Aku tak akan mempertanyakan, apa yang sudah diraih atau didapatkan yang bermuara pada pencapaian pribadi?
Alasanku? Capaian yang telah diraih, hanya satu titik dari deretan titik, yang suatu saat nanti akan berujung pada garis utuh kehidupan sebagai seorang manusia.
Baik-buruk atau benar-salah, acapkali berpijak pada serapan panca indera dan dorongan tata nilai yang berlaku. Namun terkadang, ada situasi yang memaksa diri mengingkari pemaknaan hakiki ukuran nurani, kan?
Udah, ya? Selamat menempuh tahun baru 2021!
Banyak maaf untuk kesalahan di tahun 2020
Curup, 31.12 2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H