Usai langit pagi dicekam kekhawatiran, Mendung pun malu-malu pergi ke rumah bersalin. Waktu kehamilan mungkin sudah memasuki masa tenggang. Hujan kapan saja bisa datang.
Siapa ayahnya?
Mendung memangku hampa. Membiarkan sisa percakapan bersembunyi di bawah meja. Pertanyaan selalu melahirkan jawaban yang berwujud tanya. Siapa ayahnya?
Awan mungkin saja menyalahkan angin yang merengkuh dingin. Air pasti menyalahkan matahari, terpaksa mengubah diri menjadi uap. Langit tak mungkin diminta sebagai pembela, setelah melindungi secara rela walau tampak tak suka.
Dua jam lagi akan hadir. Bersiaplah!
Mendung terdiam. Prosesi kelahiran hujan acapkali hadirkan kesibukan. Akar pohon sudah berganti nama sebagai bangku dan meja tamu. Tanah rekah sejak lama berselimut aspal, pasir dan batu. Selokan kumuh menjadi tempat persembunyian sampah. Sungai semakin kerdil, berbagi ruang dengan orang-orang kecil.
Sesaat, mendung berpikir tentang danau. Namun, itu taman bermain yang tersisa.
Hei! Ke mana?
Mendung tergesa menuju pintu. Rumah bersalin memandang pilu. Rasa sakit harus ditahan. Kehamilan adalah perjuangan sekaligus pengakuan.
Langit tempat paling aman untuk pengaduan. Tapi, Langit sedang merawat senja yang baru saja terjaga. Mendung berlari ke arah barat, sebab matahari acapkali bersembunyi di laut.
Kau menatapku dalam diam. Membiarkan ombak mengajak pasir putih menjamah jemari kakimu. Juga kakiku.