"Terima kasih, Mak!"
Kunikmati sepiring lotek dengan potongan kecil lontong buatan Mak Ijah. Rasa yang khas saat singgah di lidah. Mengajak pulang kenangan masa kecil yang indah.
"Mas udah lama tak..."
"Tujuh belas tahun, Mak!"
Kubantu ingatan Mak Ijah dengan kalimatku. Mata perempuan tua itu segera menatap ke belakang pohon beringin. Di balik barisan seng yang membatasi pandangan itu, pernah ada bangunan tua peninggalan Belanda. Dulu.
"Oh! Berarti..."
"Iya, Mak. Aku ikut ke kuburan saat itu!"
Mak Ijah sesaat menatapku. Kemudian kembali melempar pandang ke arah pohon beringin. Aku tahu, Mak ijah sedang mengingat ulang peristiwa kematiann anaknya yang disambar petir.
Sore yang mendung. Namun, angin berembus kencang. Saat itu, ada perlombaan layangan agustusan. Suami Mak Ijah ikut berlomba, dan sang anak sebagai penggulung benang. Berkali petir memberi kabar, disertai rinai hujan.
Namun, masih banyak peserta termasuk suami dan anak Mak Ijah bertahan. Hingga berakhir dengan berita duka.
"Mau dibangun apa, Mak?"