"Syahdan, kebisaan itu dimulai dari kebiasaan" - Khrisna Pabichara
Kalimat di atas, sesungguhnya sering terdengar juga kuucapkan. Bahkan, akupun mengingat beberapa kalimat bermakna senada.
Semasa sekolah dulu. Dalam pelajaran bahasa Indonesia, "alah bisa karena biasa" adalah salah satu peribahasa yang acapkali diucapkan oleh guru. Ketika sebagai murid, Â -saat itu- Â aku dan teman-teman mulai berkeluh kesah pada bahan ajar yang diagihkan.
Sebagai lelaki berdarah Minang, kakekku sering mengajari berupa petatah-petitih. Salah satunya "Apa jalan dek ditampuah, lanca kaji dek diulang". Petuah itu, berupa pesan sekaligus nasehat, jangan pernah menyerah, apalagi putus asa.
Di usia belasan tahun, ketika aku merantau, dan menjadi santri kalong. Ada satu doktrin yang mesti dihapal, dan harus ditulis di halaman pertama semua buku pelajaran, hingga akhirnya diingat selama usia. Kalimat itu adalah "Man jadda wajada" . Siapa yang bersungguh-sungguh, akan dapat.
Namun, kalimat yang dituliskan oleh Khrisna Pabichara -biasa kusapa Daeng- di kelas Menulis Bersama Komunitas Penulis Berbalas itu. Terasa berbeda, ketika kubaca.
Menurut  kiramologiku, setidaknya ada dua alasan, kenapa kalimat di awal tulisan ini terasa berbeda. Aku tulis, ya?
Pertama. Pemilihan kata "syahdan".Â
Kata ini acapkali kubaca dalam kisah negeri dongeng semisal karya HC. Andersen. Atau pada kalimat pembuka ketika mendengar cerita fabel, Kancil dan Buaya, Kancil Mencuri Timun atau Sang Kodok Meminta Hujan.
Kata syahdan ini, juga bisa ditemui  di awal cerita legenda seperti Malin Kundang, Timun Emas atau Buto Ijo. Posisi kata syahdan, sama persis dengan kata "konon" serta "dahulu kala". Karena merujuk pada hitungan masa dan waktu yang tak terukur.
Atau, sesungguhnya Daeng memilih kata itu untuk menghindarkan diri dari kesan mengajari?
Kedua. Penggunaan kata kebisaan dan kebiasaan secara berangkai.
Dua kata itu bisa saja mengecoh, karena hanya selisih satu huruf! Jika bergegas atau sekilas membaca, kita seperti menemukan kata yang sama. Atau malah menuduh penulis telah melakukan salah ketik.
Membaca kata Kebisaan dan kebiasaan secara beriringan itu, aku seperti diajak memandang kecantikan pengantin wanita kembar identik, yang duduk di kursi pelaminan secara bersamaan di acara pernikahan. Bagaimana cara termudah membedakan? Melihat pasangannya, tah?
Jejangan lagi, itu cara Daeng mengajak peserta kelas agar membaca dengan teliti dan hati-hati, agar terhindar mengambil kesimpulan yang salah, karena memaknai dengan berbeda arah?
Hanya dari satu kalimat yang terbaca biasa itu, aku butuh dua alasan untuk memahami. Hingga aku menduga,, sekaligus mengajukan tuduhan. Itu adalah pilihan cara Daeng untuk berbagi.
"Berbagi dengan cara yang tak biasa, dan indah dalam racikan kata."
Meracik Harapan
Kukira, siapa pun yang melahap tulisan Daeng di Kompasiana, akan membutuhkan sedikit jeda, dan kupastikan bukan dengan alasan kekenyangan! Terkadang, tersendat pada kata atau kalimat yang dianggit secara rumit dan sulit.
Namun, sekarang aku jadi tahu. Tak usah lagi bertanya kenapa begitu? Jawabannya akan sama. Karena aku tak terbiasa membaca dan menggunakan kata-kata serta kalimat-kalimat itu. Rumusnya; tanpa kebiasaan, sukar meraih kebisaan.
Aku mulai  khawatir. Mungkin saja, saat membaca sebuah tulisan yang kuanggap sulit dimengerti. Itu bukan karena penulisnya tak mampu menguraikan ide ke dalam tulisan yang sederhana. Tapi, karena aku belum terbiasa membaca karyanya.Â
Eh, tapi bisa saja ada kemungkinan, jika ternyata penulis tersebut, memang belum terbiasa menuliskan idenya secara sederhana? Aih, aku belum bisa menjawab kekhawatiran itu.
Harapan dari keberadaanku di kelas menulis itu, adalah mencari tahu, Â cara memiliki kebisaan menulis sebagai suatu kebiasaan. Agar tetap bisa berbagi melalui tulisan. Tak hanya bermakna, namun indah!
Apakah aku akan memiliki kemampuan menulis seperti Daeng setelah kelas usai?
Kucoba merekayasa dan merekaasa beberapa kalimat yang mungkin akan diluncurkan Daeng. Jika kutanyakan hal itu.
"Terus berlatih, Bro!"
"Membaca, Uda! Itu cara termudah mengisi peluru kata agar tetap penuh."
"Pastikan di ponsel ada KBBI dan Tesaurus, Bang Jack!"
"Semua butuh waktu dan berproses, Ganteng!"
Kukira pada kalimat terakhir, tak akan ada kata terakhir itu dari Daeng! Hiks....
Salam literasi!
Curup, 19.12.2020
[ditulis untuk Kompasiana dan Komunitas Penulis Berbalas]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H