Kata syahdan ini, juga bisa ditemui  di awal cerita legenda seperti Malin Kundang, Timun Emas atau Buto Ijo. Posisi kata syahdan, sama persis dengan kata "konon" serta "dahulu kala". Karena merujuk pada hitungan masa dan waktu yang tak terukur.
Atau, sesungguhnya Daeng memilih kata itu untuk menghindarkan diri dari kesan mengajari?
Kedua. Penggunaan kata kebisaan dan kebiasaan secara berangkai.
Dua kata itu bisa saja mengecoh, karena hanya selisih satu huruf! Jika bergegas atau sekilas membaca, kita seperti menemukan kata yang sama. Atau malah menuduh penulis telah melakukan salah ketik.
Membaca kata Kebisaan dan kebiasaan secara beriringan itu, aku seperti diajak memandang kecantikan pengantin wanita kembar identik, yang duduk di kursi pelaminan secara bersamaan di acara pernikahan. Bagaimana cara termudah membedakan? Melihat pasangannya, tah?
Jejangan lagi, itu cara Daeng mengajak peserta kelas agar membaca dengan teliti dan hati-hati, agar terhindar mengambil kesimpulan yang salah, karena memaknai dengan berbeda arah?
Hanya dari satu kalimat yang terbaca biasa itu, aku butuh dua alasan untuk memahami. Hingga aku menduga,, sekaligus mengajukan tuduhan. Itu adalah pilihan cara Daeng untuk berbagi.
"Berbagi dengan cara yang tak biasa, dan indah dalam racikan kata."
Meracik Harapan
Kukira, siapa pun yang melahap tulisan Daeng di Kompasiana, akan membutuhkan sedikit jeda, dan kupastikan bukan dengan alasan kekenyangan! Terkadang, tersendat pada kata atau kalimat yang dianggit secara rumit dan sulit.
Namun, sekarang aku jadi tahu. Tak usah lagi bertanya kenapa begitu? Jawabannya akan sama. Karena aku tak terbiasa membaca dan menggunakan kata-kata serta kalimat-kalimat itu. Rumusnya; tanpa kebiasaan, sukar meraih kebisaan.