Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pulang

16 Desember 2020   18:36 Diperbarui: 16 Desember 2020   18:38 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kau tahu? Angin tak dapat ditangkap. Asap tak dapat digenggam. Pulanglah, Nak!

Kau membisu.  Aku membaca barisan kata pada sehelai kertas itu. Kau menunggu. Aku menuang kembali ingatan dulu.  

Bayangan senja baru saja berteduh di depan pintu. Langit pun masih mengikat erat gulungan awan mendung. Namun, tak lagi ada mendung di wajahmu. Di sudut matamu, butiran bening itu baru saja memulai ritual pilu. Tangisanmu.

"Kau mau pulang?"

Tangan kananku mengusap rambutmu. Dua tanganmu, menggenggam tangan kiriku. Aku mengingat peristiwa lima tahun lalu. Di rumahmu. Di hadapan Ibumu. Kuajukan satu pertanyaan untukmu.

"Kau bersedia ikut denganku?"

Saat itu, tangismu adalah jawabanmu. Senja kali ini, pelukmu untukku.  

***

Bebatuan karang itu, begitu kukuh. Bertahan dari hempasan gelombang air laut yang bergantian menghujam. Hingga ombaknya terpecah dan mengalun tenang menyapu pasir pantai.  Beberapa kali membasuh kakiku, juga membasahi kakimu.

"Ayah tak mau lagi bertemu, Mas!"

Sore itu, adalah pertemuan kedua, setelah kejadian malam itu. Aku bertamu ke rumahmu. Saat itu, aku berhadapan dengan batu karang.  Ayahmu.

***

Kukira, embun masih sibuk bercengkrama dengan pagi, saat kudengar suaramu di balik pintu kamar kost-ku. Lagi, terdengar suaramu memanggilku. Sedikit lebih keras dari sebelumnya.

Sesaat, kulirik jam yang tergantung di dinding. Pukul tujuh kurang sepuluh. Terburu, aku memakai baju dan membuka pintu. Kau berdiri menatapku. Tapi membisu.

"Masuklah! Aku cuci muka dulu."

Aku berbalik badan. Kau kutinggal di muka pintu. Kakiku bergegas ke kamar mandi. Tak ada janji untuk bertemu. Namun, aku mengerti kedatanganmu pagi itu. Kubiarkan kau menunggu.

Tak ada suaramu, saat aku keluar dari kamar mandi. Juga tak ada senyummu, saat menghidangkan segelas kopi.  Kau memilih duduk di hadapku. Menatap mataku dalam diam. Aku tahu, kau ingin aku yang memulai.

"Dari mana?"

"Dari rumah."

"Lah? Kenapa pagi-pagi anak gadis bertamu?"

Tak ada reaksimu. Biasanya, jika sudah begitu.  Pukulan pelan atau cubitan jemarimu akan lelusa singgah di tubuhku. Namun, tidak pagi itu.

"Tak boleh? Kalau begitu, aku..."

Kuhentikan gerak tubuhmu, dengan memegang pergelangan tanganmu.  Aku tak akan pernah lupa, kau adalah perempuanku. Namun, malam tadi, di hadapan ayahmu, aku gagal menjadi lelakimu.

"Ibu memintaku menyerahkan ini."

Kau serahkan selembar kertas padaku. Segera kubaca isinya. Hanya satu kata, "Bemaling". Aku tahu, walau secara adat dibolehkan. Namun, mengajakmu menalani pengembaraan di kehidupan masa depan, tanpa restu ayahmu. Itu tindakan pengecut.

"Bilang pada ayahmu. Malam nanti, aku ingin bertemu lagi."

***

Ibumu menyambutku di ruang tamu.  Satu senyuman disuguhkan dengan ketulusan seorang ibu. Kau segera masuk ke dalam rumah, dan keluar lagi ke ruang tamu. Satu tas berukuran besar masih melekat di tanganmu.

"Kau bersedia ikut denganku?"

Pertanyaan itu harus kuajukan di hadapan ibumu. Akupun tahu, tak akan ada jawabmu. Tapi, ibumu tahu. Kau bersamaku.

"Pergilah! Sebelum ayahmu pulang. Tolong kau jaga anakku. Untukku!"

***

Azan subuh baru saja terdengar dari masjid. Saat Bus Putra Raflesia dari Padang menuju Bengkulu berhenti persis di depan rumahmu. Ibumu yang membuka pintu, saat kau dan aku tiba di depan pintu.

Kubiarkan dua perempuan menyatukan rasa yang  lama terpendam. Aku memilih berdiri di pintu. Diam.

"Masuklah, Nak! Ayah sudah menunggumu di kamar."

Tangan ibumu menggenggam tanganku. Mengajak langkah kakiku menuju kamar. Tanganmu memeluk erat lengan kiriku. Bertiga, bergerak pelan menghadap batu karang. Ayahmu.

"Maafkan ibu. Tak lagi bisa memegang rahasia."

Kalimat nyaris berupa bisikan, keluar dari mulut ibumu, sesaat sebelum menyentuh gagang pintu kamar.

Di ranjang, kusaksikan mata tua itu menatapku. Ayahmu tak lagi menyerupai batu karang yang tangguh.  Tapi penuh lubang-lubang dan rapuh.

Kau tak akan pernah tahu. Bagiku, ibumu dan ayahmu. Kepulangan bermakna penyesalan.

Curup, 16.12.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Catatan:

Ungkapan "Angin tak dapat ditangkap. Asap tak dapat digenggam" dalam pepatah Minang bermakna, rahasia tak selamanya bisa disembunyikan.

Bemaling, adalah Adat Rejang. Ketika seorang laki-laki melarikan anak gadis, namun diketahui oleh salah seorang anggota keluarga perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun