***
"Rumah Mang Acip hanyut!"
Suaramu membangunkanku. Naluri menuntun gerak cepat tubuhku menuju pintu belakang rumah. Tak ada teriakan panik dan histeris terdengar. Di antara kegelapan, kulihat arus deras sungai Musi. Pohon kelapa di pinggir sungai lenyap.
Apa pun akhir kisah tragis malam itu. Mang Acip masih beruntung! Hanya rumah kosong yang di ajak pergi.Â
Sebelas tahun lalu, banjir di belakang rumah mengajak lelakimu pergi.
***
"Kau seperti lelakiku!"
Pelukmu semakin erat. Tujuh belas tahun, bukan waktu yang mudah untuk satu keputusan. Meninggalkanmu.
Seumur hidup aku menemanimu. Nyaris setiap pagi, mengambil dan mengumpulkan batu-batu dari sungai Musi. Namun waktu yang kejam, tak pernah memberi tahu. Agar aku bersiap hidup terpisah denganmu.
"Kuliah yang baik. Jangan lupa, doakan Ayahmu!"
Dua telapak tanganmu yang kasar, dan penuh bekas luka, menyentuh dua bahuku. Tangan kukuh yang tak lelah memecah batu-batu masalah yang menghambat kehidupan masa depanku. Â Â