Agaknya, senja akan kembali berair. Mendung sejak tadi merengek ke langit. Seperti tangis manja bocah kecil yang enggan untuk mengerti, jika kemarin adalah hari terakhir, ia menikmati mata air di dada ibunya.
Dedaunan kecil pohon beringin tak sempat kering, sebagai ucapan perpisahan kepada ranting. Angin senja berlari kencang dari ujung jalan. Tak sabar berkabar kepada penghuni rumah. Agar bersiap mengucap syukur atau sumpah serapah. Hujan kembali turun.
"Aku tak bisa pergi!"
Hening menyibak helai-helai bisu yang sedari tadi menutupi bibirmu. Aku tahu. Kau terlambat menyembunyikan air mata di antara butiran hujan.
***
"Ini sudah banyak! Kalau..."
Kau pasti tahu. Tak cukup suara lembutmu, mencegahku terjun ke sungai. Beberapa kali kuulangi. Hingga batu-batu sebesar genggaman tangan orang dewasa, bertumpuk di bawah pohon kelapa. Di pinggir sungai Musi.
"Selesaikan mandimu! Hampir pukul tujuh!"
Pukul tujuh! Dua kata itu, menjadi kalimat ampuh milikmu. Setiap pagi, dua kata itu menjadi benteng terakhir paling tangguh. Mencegahku untuk berlama-lama berendam di arus sungai. Sambil memilih dan memilah batu-batu yang mudah dipecah oleh kedua ayunan tanganmu.
"Jangan lupa! Pintu rumah di kunci lagi!"
Usapan telapak tanganmu menyentuh rambutku yang basah. Bertelanjang dada, aku bergegas melangkah pulang ke rumah. Bertukar baju, dan berlari secepat mampu ke sekolah.