Langkah kakiku menjejaki halaman luas sekolah yang sepi. Tak ada suara teriakan ceria, atau tubuh-tubuh kecil berseragam merah putih, berlarian penuh canda tawa. Hanya terlihat aneka warna bunga yang menyapa mata.
Ingatan masa kecilku, kupu-kupu biasa ditemui di padang rumput, halaman rumah dan hutan. Bahkan ada yang tinggal di puncak perbukitan, lereng gunung yang terjal hingga lembah yang tak terjangkau. Itu di kampungku. Dulu.
Namun, ingatanku itu sedikit keliru. Sejak kujumpai dirimu. Segaris senyummu menyambutku di depan pintu.
"Selamat datang, Pak!"
Hampir satu tahun, sapaan itu betah bertahan di mulutmu. Dan, Bibirku tak tertahan menyapamu, kupu-kupuku.
***
Bu Guru Cantik!
Itu sapaan untukmu. Tak hanya milik murid-muridmu di sekolah serta tiga orang guru yang kesemuanya perempuan. Juga wali murid dan warga desa Pagar Gunung di Kaki Bukit barisan. Namun, paras cantikmu, tak sebanding dengan alur hidupmu.
Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengetahui tentangmu. Semua orang yang kutemui, dengan sukarela bercerita dan berkisah tentangmu. Masa kecilmu, keluargamu, serta cara ayahmu berjuang mempertahankan keberadaan sekolah.
Ayahmu, pendiri sekaligus kepala sekolah. Baru sekali kutemui di ruang Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten. Sore itu, di hari pertama penugasanku. Kembali kutemui ayahmu. Sudah terbujur kaku di ruang tamu. Rumahmu.
Bukan ucapan selamat datang, dengan berbagai pesan untuk tugas baruku. Aku merasa alam telah bersekutu. Waktu kedatanganku, adalah titik kepergian ayahmu.