Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Bekas Luka

13 November 2020   16:04 Diperbarui: 13 November 2020   19:54 1487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkadang, mengulang kenangan adalah upaya merenggangkan pikiran, untuk memberi sedikit jeda dari kusut masai keinginan dan harapan.

Lampu merah persis di depan rumahmu itu, tak hanya memahat bisu replika Adipura berbahan batu, serta berbentuk tugu yang menjadi sisa kisah kejayaan masa lalu. Juga menjadi tempat bersejarah bagi beberapa titik singgah di tubuhku. Dulu.

"Jatuh di mana?"
"Lampu merah!"

Ibu setengah berlari, masuk ke dalam rumah. Tak lama. Segera keluar dengan membawa kapas, segelas air putih dan obat merah. Jemari lembut ibu, cekatan membersihkan jejak luka di lutut kananku yang enggan berhenti mengeluarkan darah.

Ayah hanya tertawa melihatku yang berjuang menahan perih tanpa air mata. Tangan terampil ayah, dengan cepat memperbaiki sepeda ontel tua miliknya yang rusak parah. Pun, tak butuh waktu lama. Sepeda itu, dituntun ke arahku.

"Sakit?"
"Sedikit!"
Aku menunduk, menghindar tatapan mata. Ayah dan ibu tahu, lututku akan meninggalkan bekas luka.
"Cuma luka kecil, kan? Besok main lagi, biar lancar! Laki-laki harus kuat!"
Kalimat ayah itu, kembali diulang ibu. Dua tahun setelah peristiwa itu.
***
Aku masih duduk di kelas tiga SD, ketika Ibu melihat tubuhku yang gemetar berdiri di pintu kamar. Terpaksa membalas senyuman lelaki tua berkacamata dan berpakaian putih hitam. Seorang mantri sunat.  

"Sakit?"
"Sedikit!"

Suara ibu menyambutku, bergegas memegang tangan kananku saat keluar dari kamar. Wajah ibu tersenyum, sudah terlatih menyembunyikan perasaan dan kekhawatiran. Sekilas ibu mengusap kepalaku, yang berusaha keras menahan rasa sakit.

"Ayah pasti bangga padamu! Jika..."

Suara ibu menguap di udara. Mataku berusaha menatap lutut kaki kanan yang disembunyikan kain sarung. Sejak ayah tiada. Bekas luka itu, menjadi kekuatan rahasia.

***
Kau sudah tahu alasanku. Lampu merah di depan rumahmu, kembali menjadi monumen kenangan bagiku.

Kecelakaan tujuh tahun lalu, tak hanya menambah bekas luka yang baru di kaki, tangan, bahu dan wajahku. Namun juga waktunya bagiku, kembali membuktikan kalimat ayah, bahwa sebagai lelaki, diriku harus kuat dan rela menerima kepergian ibu.  

Ayahmu, orang pertama yang membantu pada peristiwa berdarah malam itu. Malam yang menahbiskan rasa sakit adalah alur kehidupanku. Aku masih kelas satu SMA saat itu.

Orang-orang yang mengenalku termasuk ayahmu, acapkali berucap aku lelaki yang kuat. Walau hidup tanpa ayah dan ibu. Namun, mereka tak pernah tahu, bekas luka di tubuhku, adalah caraku mengenang ayah dan ibuku.

Hanya kau dan aku yang tahu rahasia itu.
***
Lampu merah di depan rumahmu, menjadi jalan takdir dan waktu. Tiga tahun lalu, aku menjadi suamimu.

Seorang pengendara mabuk, nekat menerobos lampu merah. Tak hanya membayar mahal kenekatan itu dengan nyawanya. Namun juga ayahmu, yang baru keluar pagar rumah untuk bersepeda.

Akupun menjalankan wasiat ayahmu. Meneruskan tugas ayahmu yang terhenti paksa. Menjagamu seorang diri, setelah kepergian ibumu saat melahirkanmu.

Kau dan aku, memiliki cerita yang sama. Membangun masa depan dengan bekas luka. Tapi, dengan cara dan titik luka yang berbeda.

Bekas lukaku, di tubuhku. Bekas lukamu, di hatimu.  

***
"Pulang, Yah?"
"Doa dulu, yuk?"

Kau mungkin tak pernah melihat, dua telapak tangan mungil itu terangkat. Dua mata itu terpejam dan wajah menengadah ke langit. Kuharap rasakan bisikan itu. Tepat di atas nisan yang tertulis sebaris namamu, anakmu berujar kata ibu. Sepertimu. Dulu.

Sore ini. Aku mengenangmu bersama doa dan bekas luka. Kali ini, bukan di tubuhku. Tapi di hatiku.

Curup, 13.11.2020
Zaldychan
[Ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun