***
Kau sudah tahu alasanku. Lampu merah di depan rumahmu, kembali menjadi monumen kenangan bagiku.
Kecelakaan tujuh tahun lalu, tak hanya menambah bekas luka yang baru di kaki, tangan, bahu dan wajahku. Namun juga waktunya bagiku, kembali membuktikan kalimat ayah, bahwa sebagai lelaki, diriku harus kuat dan rela menerima kepergian ibu. Â
Ayahmu, orang pertama yang membantu pada peristiwa berdarah malam itu. Malam yang menahbiskan rasa sakit adalah alur kehidupanku. Aku masih kelas satu SMA saat itu.
Orang-orang yang mengenalku termasuk ayahmu, acapkali berucap aku lelaki yang kuat. Walau hidup tanpa ayah dan ibu. Namun, mereka tak pernah tahu, bekas luka di tubuhku, adalah caraku mengenang ayah dan ibuku.
Hanya kau dan aku yang tahu rahasia itu.
***
Lampu merah di depan rumahmu, menjadi jalan takdir dan waktu. Tiga tahun lalu, aku menjadi suamimu.
Seorang pengendara mabuk, nekat menerobos lampu merah. Tak hanya membayar mahal kenekatan itu dengan nyawanya. Namun juga ayahmu, yang baru keluar pagar rumah untuk bersepeda.
Akupun menjalankan wasiat ayahmu. Meneruskan tugas ayahmu yang terhenti paksa. Menjagamu seorang diri, setelah kepergian ibumu saat melahirkanmu.
Kau dan aku, memiliki cerita yang sama. Membangun masa depan dengan bekas luka. Tapi, dengan cara dan titik luka yang berbeda.
Bekas lukaku, di tubuhku. Bekas lukamu, di hatimu. Â
***
"Pulang, Yah?"
"Doa dulu, yuk?"
Kau mungkin tak pernah melihat, dua telapak tangan mungil itu terangkat. Dua mata itu terpejam dan wajah menengadah ke langit. Kuharap rasakan bisikan itu. Tepat di atas nisan yang tertulis sebaris namamu, anakmu berujar kata ibu. Sepertimu. Dulu.