Terkadang, mengulang kenangan adalah upaya merenggangkan pikiran, untuk memberi sedikit jeda dari kusut masai keinginan dan harapan.
Lampu merah persis di depan rumahmu itu, tak hanya memahat bisu replika Adipura berbahan batu, serta berbentuk tugu yang menjadi sisa kisah kejayaan masa lalu. Juga menjadi tempat bersejarah bagi beberapa titik singgah di tubuhku. Dulu.
"Jatuh di mana?"
"Lampu merah!"
Ibu setengah berlari, masuk ke dalam rumah. Tak lama. Segera keluar dengan membawa kapas, segelas air putih dan obat merah. Jemari lembut ibu, cekatan membersihkan jejak luka di lutut kananku yang enggan berhenti mengeluarkan darah.
Ayah hanya tertawa melihatku yang berjuang menahan perih tanpa air mata. Tangan terampil ayah, dengan cepat memperbaiki sepeda ontel tua miliknya yang rusak parah. Pun, tak butuh waktu lama. Sepeda itu, dituntun ke arahku.
"Sakit?"
"Sedikit!"
Aku menunduk, menghindar tatapan mata. Ayah dan ibu tahu, lututku akan meninggalkan bekas luka.
"Cuma luka kecil, kan? Besok main lagi, biar lancar! Laki-laki harus kuat!"
Kalimat ayah itu, kembali diulang ibu. Dua tahun setelah peristiwa itu.
***
Aku masih duduk di kelas tiga SD, ketika Ibu melihat tubuhku yang gemetar berdiri di pintu kamar. Terpaksa membalas senyuman lelaki tua berkacamata dan berpakaian putih hitam. Seorang mantri sunat. Â
"Sakit?"
"Sedikit!"
Suara ibu menyambutku, bergegas memegang tangan kananku saat keluar dari kamar. Wajah ibu tersenyum, sudah terlatih menyembunyikan perasaan dan kekhawatiran. Sekilas ibu mengusap kepalaku, yang berusaha keras menahan rasa sakit.
"Ayah pasti bangga padamu! Jika..."
Suara ibu menguap di udara. Mataku berusaha menatap lutut kaki kanan yang disembunyikan kain sarung. Sejak ayah tiada. Bekas luka itu, menjadi kekuatan rahasia.