"Bang! Susah gak nulis puisi?"
"Gampang!"
"Puisi yang bagus itu gimana, Bang?"
"Gak tahu!"
Pertanyaan dan jawaban seperti di atas, beberapa kali terjadi. Baik secara pribadi atau melalui grup menulis yang kuikuti. Maka, kalau ditanya susah atau tidak menulis puisi, jawabanku selalu pasti dengan kata kunci, "Gampang!"
Kok bisa? Kan tinggal tulis?
Dalam rumusan sederhana, puisi adalah ragam sastra melalui pilihan dan susunan kata (diksi) yang diletakkan secara hati-hati menuju isi.
Kalangan akademisi dan para "praktisi teori" yang acapkali memisahkan puisi berdasarkan Irama, Matra dan Rima untuk kebutuhan kajian dan penelitian. Padahal, ketiga hal itu muaranya tetap pada diksi dan bunyi.
Terus, kenapa bahasa puisi harus berbeda?
Bahasa puisi "dianggap" Â berbeda, karena pilihan kata, kemudian disusun sedemikian rupa untuk menemukan kesesuaian atau kesamaan bunyi. Sehingga, diksi dan bunyi adalah panduan awal saat menulis puisi. Tapi, itu menurut kiramologiku.
Dalam satu video percakapan dengan Najwa Shihab, Sapardi Djoko Damono berujar, jika puisi adalah bunyi. Ujaran itu disepakati Joko Pinurbo, dengan tambahan, "bermain-main dengan kata". Usai membacakan puisi berjudul Kamus Kecil. Aku tampilkan potongan lariknya, ya?
Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu
Walau kadang rumit dan membingungkan
Ia mengajari saya cara mengarang ilmu
Sehingga saya tahu
Bahwa sumber segala kisah adalah kasih
Bahwa ingin berawal dari angan
Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba
Bahwa segala yang baik akan berbiak
Bahwa orang ramah tidak mudah marah
Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih
Bahwa seorang bintang harus tahan banting
Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan  Â
Puisi Kamus Kecil, memperlihatkan kejelian dan ketelitian Joko Pinurbo dalam memilih dan memilah diksi serta bunyi (coba lihat kata dengan warna berbeda). Jika dibaca atau didengarkan, akan tersaji kedua hal itu. Untuk lengkapnya, sila simak video berikut ini.
Terus, bagaimana caraku menulis puisi? Karena datang pada era belakangan, dan tanpa bekal kepenulisan secara akademis. Aku menggunakan rumus "try and error", serta berpijak pada asupan bacaanku dari karya-karya dari banyak penyair.
Saat menulis fiksi, seperti cerpen dan puisi, Aku lebih memilih kredo diksi dan bunyi. Semisal larik berikut ini:
aku telah lebih dulu membunuh benci
sebelum hiruk-pikuk di keramaian menikam sepi
tapi aku tak mampu membujuk matahari
merampas beningmu sejenak berhenti menjejaki selasar sunyi.
Selain "kerumitan" tentang mencari dan menyigi diksi serta menguji bunyi. Tembok tebal menulis puisi itu berwujud pakem "keharusan" memuat majas (gaya bahasa) serta ketakutan melanggar "teori-teori" puisi.
Belakangan ini, ditambah lagi dengan beragam genre puisi berdasarkan jumlah lirik, bait dan kata. Akhirnya, malah batal menulis puisi. Hiks...
Saranku? Pada awalnya, tak usah dipikirkan teoritis! Sebab akan tenggelam dalam kerumitan tata nilai benar-salah, baik-buruk atau bagus-jelek. Jadi? Seperti biasa, aku akan jawab dengan satu kata dan diketahui teman-teman. "hajar!"
Sependektahuku, belum ada strata nilai yang abadi dalam berpuisi. Kecuali "rasa suka" pembaca. Dan itu, tak akan terukur! Karena rasa dan isi kepala setiap orang berbeda, tah?
Kabar bagusnya, bahwa puisi tak lagi melulu berkiblat pada diksi dan bunyi. Namun lebih kepada isi, pesan atau makna tersembunyi. Bahkan, ada juga yang "memarkirkan" beragam majas yang tersedia.
Pilihan kata tak lagi bersayap, namun lugas dan tegas. Alasannya, untuk apa bermain-main dengan keindahan kata, jika hampa makna? Benar juga! Karena cara menulis apapun itu, adalah pilihan dan selera.
Aku berikan contoh kalimat berbeda dengan satu permintaan yang sama, ketika seorang lelaki mengajukan lamaran kepada kekasihnya, ya?
1. Maukah kau menikah denganku?
2. Kau mau menjadi istriku?
3. Inginkah kau menjalani sisa usia bersamaku?
4. Kuingin kita menghabiskan masa tua bersama, kau mau?
5. Kau bersedia menjadi ibu bagi anak-anakku?
Silakan pilah dan pilih kalimat yang lebih disukai, atau mungkin membuat kalimat berbeda? Terus, kalimat mana yang dirasakan lebih "makyus"?
Kukira masih banyak varian kalimat senada, dengan sedikit pergeseran kata yang berbeda, namun memiliki maksud yang sama, tah?
Bagaimana dengan genre puisi? Aih, endapkan dulu tentang genre ini dan itu. Biarkan pembaca dan pengamat yang sibuk memberikan nilai serta membuat beragam genre dalam puisi. Versiku, sederhana saja :
"Tulis apa yang dipikirkan, dan rasakan apa yang dituliskan!"
Jadi, bebaskan diri berekspresi!
Curup, 08.11.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H