Pernahkah kau memikirkan hal-hal baik dari kedatangan hujan?
Jangan rindu! Sebab rindu adalah kemarau paling buram dari ladang-ladang sepi, yang kau tunggu usai menyemai benih janji. Kau pasti lelah membasuhnya dengan air mata yang senantiasa jatuh. Tanpa gaduh.
Air matamu jauh lebih berharga.
***
Seperti hari ini. Aku selalu mengingat lembar pertama pertemuan itu. Sedikit sungkan, kau anggukkan kepala sebagai isyarat untuk ikut berteduh. Kau pasti mengingat halte sepi ini.
Tiga puluh menit. Duduk berdua. Tanpa suara, apalagi bertukar sapa. Ponsel di genggamanmu menjadi benteng paling ampuh, mempertahankan diri dari rasa ingin tahuku. Jemariku mungkin memupuk iri pada angin di senja itu. Leluasa mengusik legam rambut sebahu. Milikmu.
"Maaf. Sekarang jam berapa?"
Kau terkejut mendengar pertanyaan itu. Kurasakan hangat di wajahku, saat lirik matamu mengeja pergelangan tangan kananku. Akupun tiba-tiba menjadi manusia paling bodoh usai melontarkan pertanyaan itu.
"Sudah mau azan maghrib, kan?"
Kali ini, aku yang terkejut. Kau mau menjawab pertanyaanku. Pertama kali, kunikmati segaris senyummu untukku. Tapi tak lama. Tubuhmu bergerak cepat menembus rintik hujan, kakimu menuju masjid An-nur di seberang jalan yang menggaungkan azan.
Aku mulai tak mengerti alur rasaku. Kaupun mungkin tak pernah ingin tahu. Saat itu, diam-diam aku menitip harap bersama ribuan rintik hujan yang memeluk tubuhmu. Kau masa depanku.
***
"Nama yang cantik! Seperti sang pemilik."
Pertemuan kedua. Di halte yang sama. Hujan yang sama. Di hari yang berbeda. Tawamu renyah mendengar kalimat itu. Rasaku penuh warna. Seakan merayakan momentum bertukar nama, walau tanpa bertukar salam.
Terkadang, kedatangan hujan benar-benar menyejukkan hati. Begitu pula kehadiranmu. Namun, aku merasa khawatir. Jika hujan pergi tanpa pamit, apakah kau juga begitu?
Kau kembali diam. Akupun membiarkan bisu menemui jalan buntu sebuah percakapan. Hingga bis kota menenggelamkan tubuhmu dari pandanganku. Tapi, sebaris nama indahmu tertinggal di hatiku.
***
Aku tak tahu cara bumi meratap langit, atau merapalkan sekumpulan kata mantra paling rahasia yang harus diujarkan. Hingga awan rela melepaskan butiran hujan.
Akupun tak tahu cara menaklukkan kegelisahan tunggu. Satu minggu berlalu, kau dan aku tak lagi pernah bertemu. Tanpa alasan, dan penjelasan. Benakku tak henti berbisik rindu. Padamu.
Sepertimu. Hujan tak pernah berjanji pada waktu. Datang ketika harus, pulang ketika harus. Dan, menghilang tanpa pesan. Tanpa bait-bait perpisahan.
Bila benar kau hadir bersama hujan. Aku akan tetap menantimu. Sebab setelah hujan, akan ada seseorang yang datang sebagai pelangi. Menawarkan dekapan hangat dalam pelukan.
Aku ingin, kau adalah pelangiku.
***
Sore ini. Di halte. Aku kembali ditemani hujan. Seakan mengajarkan. Berkali-kali jatuh dan bertahan. Tak peduli dengan rasa sakit yang dirasakan. Aku tahu, hujan pun mengajarkan cara melupakan.Â
Namun, adakah hujan rasakan rindu?
Curup,07.11.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H