Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menyigi Penyebab Kehadiran "Black Hole" dalam Menulis

5 November 2020   17:46 Diperbarui: 6 November 2020   04:10 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setidaknya, ada tiga bahasa yang digunakan untuk mengkomunikasikan isi pikiran di kepala. Bahasa isyarat, bahasa lisan dan bahasa tulisan.

Dari ketiganya, bahasa tulisan yang lahir dari kegiatan menulis, dianggap memiliki kerumitan tersendiri. Sebab, tak hanya bergelut pada beragam simbol, namun juga tata bahasa dan tata tulis.

Secara harfiah, menulis adalah salah satu cara menuangkan pesan berupa ide, pengalaman atau pengetahuan melalui aksara atau simbol. Tersusun secara sistematis dan dapat dimengerti orang lain.

Pada dasarnya, semua orang memiliki potensi menulis. Namun, tak semua orang dapat menyampaikan pesan itu melalui tulisan.

Ilustrasi belajar menulis (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi belajar menulis (sumber gambar: pixabay.com)
Menyigi Ulang 3 Tahapan Belajar Menulis
Apatah alasan sesungguhnya masih banyak yang mengaku sulit menulis? Apatah menulis berpusat pada bakat dan minat?

Aku coba menyigi penyebab hadirnya "black hole" dalam menulis. Berpijak dari pengalamanku semasa sekolah dulu. Materi pelajaran menulis terbagi menjadi tiga tahapan.

Pertama. Belajar untuk Menulis.
Pada kelas tiga SD, baru dianggap mampu menulis. Ukuran bisa menulis itu, tidak lagi meniru yang ditulis oleh guru di papan tulis. Tetapi, menulis dengan lancar tanpa ada kekurangan atau kelebihan huruf saat guru mendiktekan. Jika salah? Didenda!

Tahapan ini, juga tahapan pembentukan tulisan. Semisal bagaimana caranya, agar tulisan bisa dibaca dengan jelas, tidak lagi cakar ayam. Belajar huruf sambung dan huruf indah (kaligrafi). Biasanya, ada buku khusus yang dikenal dengan istilah "tulisan halus kasar".

Kedua. Belajar tentang Tulisan.
Sejak kelas empat hingga kelas enam SD. Siswa mulai belajar tentang tulisan. Berupa penggunaan tanda baca, huruf besar, kata sambung, beragam imbuhan dan susunan kalimat sederhana. Biasanya dilakukan praktiknya dalam pelajaran mengarang dengan tema bebas.

Di SMP, mulai dikenalkan dan memahami beragam paragraf sederhana, termasuk bentuk-bentuk tulisan fiksi dan non fiksi, serta aneka majas. Materi mengarang sudah mulai berdasarkan tema. Pun diharapkan bisa membuat struktur utuh tulisan (semacam outline).

Ketiga. Belajar melalui Tulisan.
Di SMA. Pelajaran, tak lagi Bahasa Indonesia. Tetapi Bahasa dan Sastra. Tak hanya belajar jenis-jenis tulisan, namun siswa diwajibkan membaca sejumlah karya sastra semisal Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Robohnya Surau Kami, atau Di Bawah Lidungan Ka'bah.

Bukti dari proses pembelajaran itu, siswa mampu menulis resensi buku yang dibaca. Atau setidaknya melakukan reading report atau dikenal dengan istilah membuat resume. Di akhir kelas tiga (sekarang kelas dua belas), wajib membuat karya tulis atau paper sederhana.

Terus, bagaimana keterampilan menulis anak sekolah masa sekarang?

Ada orangtua yang bangga, sejak Taman Kanak-kanak, anaknya sudah mampu membaca, tapi mengeluh, karena tak mengerti yang dibaca. Apalagi diminta menceritakan atau menuliskan ulang hasil dari bacaan itu.

Kenapa begitu? Aku tak bisa menjawab secara lugas. Namun, acapkali menerima keluhan dari rekan-rekan yang berprofesi sebagai guru maupun orangtua. Dugaanku, ada salah satu dari tiga tahapan itu, yang hilang!

Keterampilan berbicara salah satu pendukung untuk belajar menulis (sumber gambar: pixabay.com)
Keterampilan berbicara salah satu pendukung untuk belajar menulis (sumber gambar: pixabay.com)
Mengulik 3 Keterampilan Pendukung untuk Menulis

Kemampuan menulis itu tidak bisa berdiri sendiri. Melainkan saling berhubungan dengan kemampuan lain. Yaitu keterampilan membaca, berbicara atau menyimak.

Aku coba refleksikan ketiga hal itu, secara mandiri dengan melihat ke lingkungan terdekat, sebagai unsur pendukung keterampilan menulis.

Pertama. Keterampilan Membaca.
Berapa banyak guru dan orangtua mengalokasikan waktu membaca serta berapa jumlah buku yang harus dibaca siswa dan anak? Seringkah bertanya untuk mengukur pemahaman dari buku yang dibaca, dan menuntun mereka merefleksikannya pada sikap dan prilaku?

Pertanyaan lanjutan, berapa banyak sekolah atau rumah yang memprioritaskan keberadaan perpustakaan? Tak hanya itu, bagaimana keadaan buku-buku bacaan itu? Adakah terbitan terbaru atau buku puluhan tahun lalu? Sesuaikah dengan kebutuhan mereka?

Pertanyaan terakhir berkaitan dengan membaca. Saat tamat SMA. Adakah terukur dan diketahui, berapa banyak buku, novel atau karya sastra lain yang sudah dibaca?

Kedua. Keterampilan Berbicara.
Secara sederhana, berbicara itu, adalah upaya mengaktualisasikan gagasan dan pikiran di kepala melalui lisan. Semakin terampil seseorang berbicara, semakin mudah menjelaskan ide, dan semakin gampang pendengar mengerti pesan yang disampaikan.

Acapkali, anak menghindar saat diminta menjadi pembawa acara saat upacara atau diminta berbicara di depan kelas. Terkadang sulit menuntut anak berani tampil dengan keinginan sendiri untuk membaca puisi. Apalagi pidato, ceramah dan mendongeng?

Malu, tidak mampu atau tidak berani. Adalah tiga alasan alasan populis. Jadi, seberapa jauh, upaya guru dan orangtua untuk menghapus alasan tersebut?

Ketiga. Keterampilan Menyimak.
Secara berkelakar aku pernah menuliskan. Orang Indonesia gemar bicara daripada mendengarkan. Alasanku? Silakah hitung lembaga pendidikan dengan titik konsentrasi komunikasi. Adakah lembaga yang khusus mempelajari cara-cara mendengarkan?

Sebab, mendengarkan adalah tahapan dari menyimak. Silakan panggil satu anak ke depan kelas. Berbicara atau membaca puisi selama tiga menit. Apatah warga kelas akan diam dan mendengarkan? Tak hanya di kelas, wong anggota dewan juga rebutan bicara, tah?

Jika semua fokus pada bicara, siapa yang akan mendengar? Gawatnya, jika bicara tak mau, menyimak juga tak mau tahu. Apa yang bisa diharapkan dalam menulis?

Ilustrasi Lelaki sedang menulis. Butuh proses dalam menulis (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi Lelaki sedang menulis. Butuh proses dalam menulis (sumber gambar: pixabay.com)
Terus?
Di masa kini, belajar menulis sudah tak harus berhadapan dengan guru bahasa di kelas. Ada banyak praktisi kepenulisan serta kelas-kelas online yang menawarkan materi belajar menulis.

Aku yakin. Tak ada batasan usia untuk belajar menulis. Hanya butuh energi cadangan untuk betah mengulang dan membilas ingatan pelajaran bahasa dan sastra semasa sekolah dulu.

Bisakah belajar mandiri? Kupastikan bisa! Aku pribadi melakukan itu sejak dua tahun lalu, di rumah bersama Kompasiana. Berkali, banyak nama kusebut dalam tulisan. Tak terhitung para Senior Kompasianers yang kutanyai tentang menulis. Melalui grup, media sosial atau saluran pribadi.

Akupun diberitahu. Menulis itu butuh proses. Pesan tetua, tak pernah ada rumus instan dalam hal menulis. Ada yang sepakat?

Curup, 05.11.2020
Zaldychan
[Ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun