Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Haruskah Ada Dampak, Baru Tampak?

2 November 2020   22:05 Diperbarui: 4 November 2020   09:34 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak perempuan berbisik (sumber gambar: pixabay.com)

Jika terdengar bunyi atau tercium bau kentut, apa yang biasa dilakukan?

Maafkanlah, jika kuajukan pertanyaan meriah dengan kata kentut itu. Niatnya hanya memberikan tamsilan, biar tulisan ini dibaca dengan senyuman dan terasa ringan.

Setidaknya, ada beberapa alternatif jawaban dari pertanyaan itu. Antara lain;

1. Menutup hidung
2. Mencari tahu pelaku
3. Menuduh orang di sekitar sumber kentut
4. Marah
5. Tertawa
6. Biasa aja. Kalau bisa membalas kentut.

Enam pilihan jawaban itu berdasarkan kiramologiku. Mungkin ada beberapa alternatif jawaban lain yang terpikirkan. Silakan isi urutan ke-7, ke-8 dan seterusnya, kan?

Hematku, jika kentut itu dianggap sebagai AKSI. Maka pilihan jawaban di atas adalah REAKSI.

Hukum alamnya; "tak akan ada reaksi tanpa adanya aksi". Terus, walau aksi cuma sekali, reaksi bisa muncul berkali-kali dengan beragam gaya dan cara.

Apakah salah? Belum tentu!

Ilustrasi pecahan kaca (sumber gambar: pixabay.com)
Ilustrasi pecahan kaca (sumber gambar: pixabay.com)
Menyigi 3 Macam Reaksi

Dasar pemikiran serta alasan orang bereaksi juga beraneka macam, tah? Kutulis tiga macam reaksi yang biasa ditemui, ya?

Pertama. Reaksi Militansi

Kategori ini dianggap sebagai pihak yang berupaya menentang atau berlawanan. Terkadang dituduh sebagai anti ini dan itu. bahasa lugasnya, reaksi yang melawan arus atau antimainstream. Contoh lucunya? Saat hujan dan cuaca dingin, malah ingin makan es krim!

Kedua. Reaksi Formasi

Reaksi ini dilakukan sebagai upaya pertahanan diri, ketika tanpa sadar merasa terancam. Tapi dilakukan secara sadar. Misalnya? Kaum ibu yang bersenjatakan raket listrik setiap senja, untuk memburu nyamuk nakal. Agar saat tidur, anggota keluarga tercinta tak jadi korban gigitan.

Ketiga. Reaksi Orientasi

Ini adalah upaya penyesuaian diri dengan lingkungan. Semisal bunglon yang mampu dengan gesit beradaptasi. Atau seperti penyesuaian diri penumpang dalam bis kota yang terlihat sesak dan padat. Ternyata masih bisa muat ketika penumpang baru ikutan naik.

Ketiga reaksi ini bisa ditemukan saat mendengarkan bunyi atau mencium aroma kentut. Coba aja telaah secara mandiri!

Pada semua aspek kehidupan, tiga macam reaksi itu pun dapat hadir. Contoh terbaru? Ajakan boikot produk Perancis sebagai reaksi dari pidato Presiden Macron, atau maraknya reaksi terhadap UU Cipta Lapangan Kerja yang sudah disahkan oleh DPR dan Presiden.

Adakah hubungannya? Hematku, yang dilakukan para pendemo itu bukan aksi. Tapi adalah reaksi dari lahirnya undang-undang itu. Terus, yang aksi apa? Tindakan anggota dewan yang mengesahkan. Masalahnya, reaksi itu masuk kategori yang mana?

Sesungguhnya, tak hanya terhadap kentut yang memicu reaksi setelah ada bau atau bunyi.

Namun, ada juga reaksi itu ketika sudah ada dampak, baru tampak! Kalau tak memiliki dampak? Acapkali pura-pura tak tampak. 

Aku tuliskan contohnya tentang hujan di bulan November, ya?

Ilustrasi petani di sawah (sumber gambar : pixabay.com)
Ilustrasi petani di sawah (sumber gambar : pixabay.com)
Kisah November sebagai Bulan Hujan, Ada Dampak Baru Tampak?

Bulan November dituduh tanpa mampu menyangkal, sebagai "Bulan Hujan". Salah satu "tuduhan" itu, ditahbiskan abadi oleh generasi 90-an. Itupun jika pernah menyimak lagu grup musik Guns N Roses yang berjudul "November Rain".

Curup -kota kelahiranku- tak pernah berurusan dengan judul lagu itu. Sebab dari bulan Januari-Desember akrab dengan curah hujan. Bayangkan jika dalam konser, sebagai vokalis, Axel Roses kerepotan mengingat perbedaan lirik dari "Januari Rain" hingga "Desember Rain".

Namun, jika berbincang tentang hujan. Reaksi tentang keberadaan hujan itu "Akan Tampak" setelah "Ada Dampak". Hal itu bisa terlihat dari tahapan reaksi petani di musim hujan.

Para petani pasti bahagia, ketika benih yang disemai, tumbuh dan bisa segera bertanam. Hujan atau lebih tepatnya butiran hujan sebagai rahmat dari Sang Pencipta. Pada tahap ini, hujan adalah sumber harapan.

Saat benih sudah ditanam. Tapi hujan curah hujan semakin deras hingga merendam bibit tanaman. Petani pun berharap tak lagi datang hujan, agar benih tak mengalami pembusukan. Saat seperti ini, hujan berubah menjadi keluhan.

Di masa perawatan satu hingga dua bulan awal. Tanaman akan melalui siklus butuh banyak air atau butuh sedikit air. Bayangkan kesedihan petani cabai atau kopi, ketika tanaman yang sedang berbunga, diterpa hujan? Hujan menjadi pemicu kemarahan tertahan.

Menjelang masa panen. Ternyata hujan tak kunjung reda. Petani di sawah menggerutu, bulir padi yang telat menguning karena kekurangan cahaya matahari. Begitu juga petani kopi dan cabai, apalagi petani sayuran yang terancam gagal panen. Hujan melahirkan makian!

Ketika hujan tak hanya meluluhlantakkan mata pencaharian. Namun juga rumah tempat tinggal yang dipicu banjir atau tanah longsor. Pada momen ini, hujan adalah awal musibah yang hadirkan tangisan.

Ilustrasi bidak catur (sumber gambar : pixabay.com)
Ilustrasi bidak catur (sumber gambar : pixabay.com)
Jadi?

Kisah reaksi pada kentut dan hujan di atas, hanya contoh dari beragam sumber reaksi. Jika pada kentut, terukur dari bunyi dan bau. Maka, reaksi pada hujan bisa dilihat dari dampak setelah tampak.

Pilihan reaksi terhadap kentut atau hujan itu, bisa juga berpengaruh besar pada kehidupan. Terutama terhadap cara mengambil keputusan. 

Adakah pilihan reaksi sebagai dasar keputusan?

  • Menunggu hingga berdampak
  • Mencari tahu agar tampak dan tak berdampak
  • Melakukan sesuatu yang berdampak, walau tak tampak

Begitulah. Siapapun bebas mengambil keputusan. Berdasarkan tahapan reaksi yang dialami. Sepakat?

Curup, 02.11.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun