Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Di antara Butiran Hujan dan Bisikan Kehilangan

1 November 2020   16:39 Diperbarui: 3 November 2020   11:48 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku tak mau lagi hidupku tersusun dari kehilangan demi kehilangan."

Kalimat itu meluncur tiba-tiba dari bibirmu. Tergesa menyelinap tanpa aba-aba, dan menguap di udara. Perlahan menghilang. Di ujung malam yang lengang.

Kali ini tanpa air mata. Hanya gema butiran hujan yang berjatuhan. Juga kabut yang disisakan desah nafasmu, menghalangi tatapanku pada wajah letihmu.

"Pernah merasakan mimpi yang hilang?"

Kau tahu. Aku tak perlu menjawab pertanyaan itu.

***

Di Ketenong, desa kecil berjarak lima jam perjalanan, tiga kali berganti kendaraan menuju ibukota Kabupaten Rejang Lebong. Kau dilahirkan sebagai anak bungsu, dari lima bersaudara. Dua puluh tujuh tahun lalu.

Ayah dan ibumu bekerja sebagai guru sebuah sekolah dasar swasta. Satu-satunya sekolah yang tersedia di desamu. Hal itu memaksa empat saudaramu, satu-persatu pergi merantau meninggalkan rumah, untuk melanjutkan sekolah.

Kaupun jalani ritual itu, usai menamatkan sekolah dasarmu. Meninggalkan rumah untuk melanjutkan sekolah, adalah alasan paling indah untuk suatu perpisahan. Hidup jauh dari ayah juga ibumu, adalah cara paling sopan untuk merayakan sebuah kehilangan.

"Tak pernah merasakan itu, kan?"

Aku lebih memilih diam. Kisah masa kecilmu, cukup menjadi alasanku. Memilikimu.

***

Kau pernah bertandang ke ruang tamu, agar aku melihat tumpahan beningmu. Usai kau mendapat berita, jika saudara tertuamu akan menikah. Bagimu, kebahagiaan saudaramu itu adalah kehilanganmu.

Lagi dan berulang lagi. Tangismu hadir di hadapku. Ketika waktu mengatur satu-persatu saudaramu harus menikah. Apalagi, tak ada satu pun dari peristiwa itu, bisa kau saksikan. 

Kembali, waktu berkuasa meracik menu kehilangan paling bisu untukmu.

Kau pun mulai percaya, hidupmu tegak di atas pondasi rapuh. Kehilangan demi kehilangan datang silih berganti. Hingga kau terbiasa melukis sketsa sepi. Sendiri.

Aku tak berani menentang takdirku!

Kalimat itu tertulis pada lembar kedua suratmu. Sebuah pesan tersembunyi dari mimpimu, saat aku harus pergi meninggalkanmu. Kau mengerti semua alasan kepergian itu. Mewujudkan anganku. Kau sepenuhnya milikku.

***

Kukira, kau mulai melupakan bayang-bayang tentang kehilangan, saat kutemui ayah dan ibumu. Memintamu menjadi ibu bagi anak-anakku.

"Terima kasih, Mas. Aku..."

"Aku tak ingin berjanji. Tapi, aku akan menjagamu seumur hidupku!"

Di balik kelopak matamu yang basah, kau pasti mengerti. Kuingin, kehilangan segera menjadi masa lalu. Ketika satu-persatu kau hadirkan buah cinta untukku.

Namun, kehadiran anak-anak dari rahimmu tak pernah sepenuhnya berhasil memupus rasa takut kehilangan itu. Bagimu, kehilangan adalah bayangan kelam yang tak pernah mampu diredam.

"Mas mau berjanji?"

Entahlah! Aku tak tahu yang kau pikirkan. Malam itu, kau menangis dalam diam di pelukku. 

Hangat beningmu kurasakan di bahuku. Usai kuusap helai rambutmu yang mulai memutih letih menjejaki usia.

***

Hari ini. Di antara butiran hujan dan bisikan kehilangan. Aku kembali menulis lagi. Sebuah obituari.

Tidak untuk mengabarkan berita kematian. Tetapi untuk merayakan kehidupan.

Curup,01.11.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun