Jika kau percaya jodoh, rezeki dan maut adalah takdir. Maaf, kali ini kita berbeda.
Sebelum hari ini. Sebelum usiaku menginjak lima windu. Aku masih berusaha percayai itu. Namun tidak, sejak pagi tadi tak lagi kulihat matahari.Â
Silakan tertawa. Aku sudah memutuskan, ada takdir terbaru. Bukan hanya jodoh, rezeki dan maut. Dan itu adalah telat.
Kau pernah mendengar kisah tentang Hasan?
Dia kakekku. Ayah dari ibuku. Akibat isu pembunuhan pemuka agama sebelum peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965. Hasan langsung memutuskan melarikan diri. Â
Cerita ibuku. Titik awal pelarian itu dimulai dari Sumedang menuju Bandung. Hanya bertahan dua minggu. Hasan mengajak istri serta tiga orang anak termasuk ibuku, meneruskan perjalanan ke Bekasi. Itupun beberapa hari, pindah lagi ke Cilegon.
Tapi pelarian Hasan tertunda dan harus menunggu. Sebab adik bungsu ibuku lahir di situ. Setelah dua bulan. Hasan mengajak keluarga menyeberangi Selat Sunda. Menuju tempat saudaranya di Kota Metro-Lampung.
Setelah itu, berpindah beberapa kali lagi. Hingga Hasan memutuskan menetap di Pesisir Pantai Bengkulu.Â
Terus, apa hubungannya denganku?
Begini, akibat seringkali berpindah hingga menghentikan pelarian di Bengkulu pada tahun 1975. Ibuku sudah berusia tiga puluh dua tahun! Untung saja, cinta kilat dengan seorang nelayan -tak sampai satu bulan perkenalan- Ibuku menikah dengan Amin. Ayahku.
Jika kau anggap pernikahan Ibuku dan Amin adalah takdir. Kukira kau keliru! Pada masa itu, seseorang yang menikah pada usia di atas tiga puluhan, dianggap terlalu tua. Padahal usia ayahku tiga tahun lebih tua dari ibuku.
Kau pasti mengerti perihnya dijuluki perawan tua atau bujang lapuk, kan? Bagi orangtuaku, takdir mereka adalah telat menikah.
Dan, takdir telat itu terus berlanjut.Â
Apa rasanya, menikah jika tak memiliki anak? Kau bisa saja mengerti. Namun orang lain? Tuduhan mandul bagi pasangan suami-istri atau impoten bagi lelaki, lebih dahsyat tekanannya daripada ledakan bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Percayalah itu!
Air mata menjadi saksi. Bagaimana usaha ayah dan ibuku untuk mendapatkan anak. Sudah berpuluh-puluh saran dan anjuran orang pintar diikuti. Aku lahir pada tahun kelima pernikahan. Saat ibuku memasuki usia tiga puluh tujuh tahun. Ayahku pada angka empat puluh. Akupun menjadi anak tunggal.
Aku terharu, saat ibuku dengan air mata bahagia mengisahkan tentang hari-hari pertama kehamilan. Kukira, satu-satunya telat yang harus disyukuri. Ibuku telat datang bulan.
Aku mengingat subuh itu. Belum genap enam tahun usiaku. Biasanya, usai subuh ibu akan pergi ke pantai. Menunggu dan membantu ayah memunguti ikan hasil tangkapan. Dan itu setiap hari dilakukan sejak awal pernikahan.
Namun, hari itu ibu buru-buru pulang ke rumah. Membangunkan dan menarik tanganku. Bergegas menuju pantai. Tanpa suara dan tanpa air mata. Ibu memelukku.
Aku lupa persisnya. Beberapa hari setelah itu, aku mendengar cerita, jika perahu ayahku telat pulang.
Kau tahu? Di kalangan nelayan ada kepercayaan dari kisah yang turun temurun. Di tengah lautan, di antara laut Bengkulu menuju Selat Sunda, ada sebuah gerbang misterius. Apapun dan siapapun yang sengaja atau tak sengaja melintasi akan hilang dan tak pernah ditemukan.
Orang-orang tua dulu menyebut peristiwa kehilangan itu dengan istilah "telat pulang". Ujaran halus, untuk keluarga yang ditinggalkan. Dan itu terjadi pada ayahku. Walau ibuku tak pernah mau menceritakan hal itu.
Jika kau bertanya tentang Ayahku, maka aku akan menjawab dengan kalimat, "ayahku telat pulang". Â Sebagai cara menyembunyikan pedihnya rasa kehilangan dan kepergian. Bagiku. Juga ibuku.
Beberapa hari setelah kepergian Ayah. Para tetangga yang juga teman-teman ayahku, selalu berbagi ikan hasil tangkapan. Nyaris setiap hari, ada saja yang mengantarkan ikan ke rumah. Akhirnya, ibuku memutuskan membuat ikan asin. Kemudian dijual ke pasar.
Entah siapa yang mendukung, yang aku tahu, Ibuku bersama beberapa istri nelayan kemudian membentuk kelompok pembuat ikan asin. Sebagai pemasukan tambahan bagi para nelayan, jika ikan hasil tangkapan tak habis terjual.
Saat aku sekolah dasar, usaha ikan asin itu lambat laun berkembang. Bahkan saat aku tamat SMA, ibuku dipercaya menjadi koordinator beberapa kelompok ibu-ibu pembuat ikan asin. Usaha itu, tak lagi menjadi kegiatan sampingan, namun menjadi sumber utama pemasukan dengan omset jutaan.
Aku tak tahu jika kisahku terjadi padamu. Namun aku enggan bertanya, alasan ibu memilih tidak menikah lagi. Aku hanya berpikir, bagaimana membantu usaha ibu agar terus maju. Aku ingin, Ibu merasakan kebahagiaan serta melupakan kesedihan. Sebelum aku telat dan menyesali itu.
Dua tahun lalu, ibu yang sejak lama mendaftarkan diri, mendapat jatah untuk menunaikan ibadah haji. Tapi batal berangkat, karena sudah berusia lanjut harus didampingi. Dan aku satu-satunya yang diminta ibu sebagai pendamping.
Kau tahu? Aku masih ragu melakukan itu! Tak hanya kesulitan mencari waktu, karena kesibukanku mengurus beberapa kelompok usaha ikan asin yang sudah puluhan tahun dirintis ibu. Aku berpikir tentang beban moral juga mental, jika menyandang gelar haji di usia belum empat puluh tahun.
Kemarin sore, temanku menawarkan untuk berangkat umrah. Kukira, itu adalah satu-satunya cara untuk mengobati kekecewaan ibu yang gagal menunaikan ibadah haji.
Tak perlu berpikir panjang atau berdiskusi. Malam tadi, dengan mengabaikan pertanyaan dari ibu tentang alasanku pergi karena hujan deras. Aku nekat berangkat ke rumah temanku itu untuk melengkapi berbagai syarat.
Aku membayangkan, ibadah umrah itu menjadi kejutan indah bagi ibuku. Akan aku sampaikan, jika aku sudah tahu jadual pasti keberangkatan. Ibu pasti bahagia.
Kau ingin merasakan bahagia yang sama, kan?
Jadi. Datanglah ke rumahku. Tak usah bicara tentang akhir takdirku, dan lupakan saja kuburku. Tolong sampaikan pada ibu. Aku telat pulang.
Curup, 12.10.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H