Terkadang, ada hal-hal tak terduga dan tak terukur ditemukan pada momen yang tak disangka.
Aku pernah begitu iba, menyaksikan Massimo Taibi -kiper asal Italia- sosok yang diharapkan sebagai pengganti kiper legenda setan merah Peter Schmeichel.
Taibi melakukan blunder! Kiper yang direkrut dari klub Venezia itu. Harus melihat laju bola yang bergulir pelan melewati dua kakinya. Tim Treble Winner 1999 itu ditahan dengan skor 3-3 oleh Southampton. Tim Medioker premier league ketika itu.
Semua orang bisa saja melakukan kesalahan. Termasuk seorang kiper. Namun berujung sial bagi Taibi. Namun tak ada toleransi kesalahan minor, jika dirimu mengenakan seragam klub Manchester United yang musim sebelumnya menjuarai tiga ajang bergengsi.
The Blind Venetian adalah sematan media lokal untuknya. Catatan hanya empat pertandingan dalam satu musim kompetisi di klub asuhan Sir Alex Ferguson, adalah catatan nadir dari karir cemerlang Taibi di klub sebelumnya.  Blunder itu menemui takdirnya. Sebagai aib.
Seperti di sepak bola, dalam kehidupan pun akan hadir blunder yang berujung aib.
Misal?  Seorang bocah kelas satu Sekolah Dasar, karena takut dengan guru, memutuskan menahan pipis pada saat jam pelajaran. Namun karena tak lagi ditahan, akhirnya ngompol di celana. Peristiwa itu adalah aib.  Akan menjadi mesiu sekaligus peluru teman sekelas. Bahkan hingga usia dewasa dan tua!
Secara teoritis, blunder kebobolan atau ketakutan tak beralasan sehingga pipis di celana itu, seharusnya adalah aib yang bisa dihindari. Penyesalan yang hadir belakangan, kemudian dipenuhi dengan pengandaian-pengandaian.
Aib bukanlah berbentuk binatang yang harus dirawat, diberi makan dan minum serta bisa dilatih. Kemudian patuh dan jinak menjaga tuannya. Aib adalah aib. Hukuman tanpa vonis pengadilan, yang diputuskan sendiri atau lingkungan sekitar.
Sehingga sesiapapun, kemudian berjuang dan bertahan serta melakukan apa saja untuk menghindarkan diri dari aib. Setidaknya, berusaha menutup peluang, agar aib tak menemukan jalan terang kepada dirinya.