Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Kekuasaan di Ujung Usia, Menjaga atau Dijaga?

24 Juli 2020   21:13 Diperbarui: 24 Juli 2020   22:41 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekuasaan (sumber gambar : pixabay.com)

Seorang lelaki tua berdiri terpaku. Menyaksikan rumah beserta tanah warisan dari orangtua, yang dihuni sejak lahir, dihancurkan rata dengan tanah. Membiarkan istri dan anak-anaknya tergugu menatap barang yang berserakan di pinggir jalan.

Lelaki tua itu, tak perlu bertanya kepada warga sekitar, bahwa dia adalah pemilik rumah. Karena mereka adalah pendatang. Lelaki itu adalah orang tertua di kampung itu. Tak lagi ada orang yang bisa diajukan sebagai saksi.

Juga tak ada bukti, apatah secarik kertas, saat orangtuanya mewariskan rumah beserta tanah itu kepadanya. Semua saudaranya telah mati. Bahkan tak mungkin bertanya kepada kepala desa atau kantor pertanahan. Kantornya belum berdiri, dan pejabatnya saja belum lahir.

Percuma usaha berhari-hari bercerita tentang kenangan masa lalu, juga asal-usul berdirinya kampung yang sama persis dengan isi buku tentang sejarah berdirinya desa.

Satu-satunya kesalahan lelaki tua itu, adalah tak mampu menggantikan kebenaran cerita-cerita itu, dengan secarik kertas bukti kepemilikan. Sehingga memiliki kekuasaan untuk memperjuangkan kebenaran.

Satu-satunya pembuktian tentang kepemilikan itu adalah, orang-orang tahu, dia dan keluarganya mendiami rumah itu. Hanya itu. Tak ada pembuktian lain!

"Jika anda memiliki sekeranjang kebenaran. Maka itu tak akan berguna, tanpa segenggam kekuasaan."

Begitu dahsyatnya yang bernama kekuasaan. Secarik kertas yang berisi perintah pembongkaran rumah lelaki tua itu, lebih berkuasa untuk menghapus kebenaran-kebenaran sejarah yang dimiliki.

Secarik kertas yang bernama kekuasaan, bisa membungkam teriakan istri yang menunjuk satu kamar, sambil berkisah, bagaimana dulu berjuang antara hidup dan mati untuk melahirkan satu-persatu anaknya.

Segenggam kekuasan itu, mampu mengabaikan bekas jahitan luka di dahi anak tertua, setelah terjatuh dari pohon jambu di tanah kosong, yang sekarang sudah berganti mini market. Walau beberapa orang paruh baya membenarkan peristiwa itu.

Kekuasaan itu, menafikan cerita dari beberapa mantan kepala desa, tentang jasa lelaki tua itu membantu mereka menjalankan tugas sebagai pemimpin desa. Kebenaran-kebenaran dan kesaksian hanya sebagai bukti menghuni. Bukan memiliki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun