Akhirnya, aku putuskan menggunakan kalimat, begitu mahalnya "biaya kebodohan". Kukira lebih lugas, dibandingkan jika menuliskan kalimat "ongkos keingintahuan" atau "biaya kepintaran".
Kalimat itu tak berkaitan langsung dengan biaya pendidikan. Namun harga yang harus dibayar dari minimnya kemampuan mengukur diri atau lebih lugasnya ongkos "tahu diri".
Orangtua pasti merasa bangga jika mendengar anak-anaknya bercita-cita jadi Dokter, Insinyur, Tentara bahkan Presiden. Namun akan memberi tepuk tangan palsu, ketika menyadari bahwa kondisi diri tak mungkin mencapai itu. Sebab, enggan melukai hati anak.
Akan hadir tawa dan sedikit penyangkalan dengan nada kecewa, saat mendengar anaknya bercita-cita jadi Penari, Pemusik atau Penulis! Selain sekolahnya terbatas, dan tentu saja berbiaya tak murah. Masa depan? Aih, akan hadirkan perdebatan panjang, kan?
Karena, cita-cita itu di luar bingkai kelaziman sistem sosial yang berlaku di lingkungan sekitar.. Iya, kan?
Susahnya Menerima dan Menjelaskan Kekurangan
Terkadang ada saja orangtua yang "menyembunyikan" kemampuan sebenarnya dari anak. Akan ada bujukan untuk memompa semangat atas kegagalan sang anak, terkadang menimpakan kesalahan pada orang lain.
Sedikit gagap bagi orangtua untuk menerima kekurangan anaknya, serta memberikan pengertian kepada sang anak, bahwa mereka memang memiliki kekurangan dibandingkan orang lain.
Banyak orangtua yang berusaha "menutupi" kekurangan itu dari anaknya. Berusaha memasukkan anaknya ke sekolah favorit yang dianggap sekolahnya anak-anak cerdas. Jika jalur tes resmi tak lulus, orangtua akan memaksa diri melalui "jalur alternatif".
Sekolah sebagai lembaga pendidikan, diam-diam menjelma menjadi lembaga "penilaian kekurangan" peserta didik. Orangtua tanpa sadar "mengganti" fungsi guru-guru sebagai sosok terlatih untuk menemukan kekurangan, dibandingkan mencari kelebihan anak.