Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menunggu Tagar "Saya Klepon!"

21 Juli 2020   23:09 Diperbarui: 22 Juli 2020   00:35 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gronya Somerville pebulutangkis Australia yang mencicipi Klepon (sumber gambar : www.indosport.com)

"Saya suka argumentasi. Saya suka berdebat. Saya tidak ingin semua orang duduk dan mengatakan setuju dengan pendapat saya". Margaret Thatcher (1925-2013)

Sengaja kukutip kalimat dari Perdana Menteri Inggris periode 1979-1990 itu. Perempuan berjuluk "wanita Besi" ini, bertahan di tengah dominasi pemimpin laki-laki di pusat kekuasaan negara maju pada era perang dingin.

Dalam alur sejarah Inggris, nama Thatcher pasti tercatat konsistensinya menentang Uni Soviet dulu, menyatakan perang dengan Argentina dalam perebutan kepuauan Malvinas. Belum lagi, meredam konflik internal se- Inggris Raya.

Berbeda itu Magnet!

Berbeda! Agaknya, menjadi salah satu pilihan dari Thatcher. Hal itu, bisa dibaca dalam buku biografinya yang telah difilmkan dengan judul "The Iron Lady". Tentu saja, tak hanya asal berbeda! Margaret Thatcher memiliki banyak rahasia ajaib. Salah satunya :

"Dalam politik, jika kamu ingin sesuatu, tanyakan pada pria. Tapi, jika kamu ingin sesuatu itu beres, tanyakan pada wanita."

Tuh, kan? Sila dikunyah pernyataan itu. Mau berdebat dan adu argumentasi? Monggo! Jika berbeda, sila tuliskan opini tentang ini. mau dikaitkan dengan masalah Indonesia, atau kondisi rumah tangga, tak akan dilarang. Bilang Thatcher, tak harus setuju, tah?

Kenapa aku di awal tertarik menulis tentang Margaret Thatcher? Karena dia memang berbeda! Hematku, berbeda itu seperti medan magnet! Yang menciptakan situasi kohesiv maupun adhesiv. Saling bertentangan atau malah saling bertaut.

Apatah lagi masa kini, kan? Berbeda akan menjadi pusat energi sekaligus pusat atensi. Jika mau terkenal atau popular yang sekarang dikenal dengan sebutan viral. Lakukanlah sesuatu yang berbeda! Apatah melanggar etika atau jauh dari kesan estetika, lain soal! Iya, kan?

Gronya Somerville pebulutangkis Australia yang mencicipi Klepon (sumber gambar : www.indosport.com)
Gronya Somerville pebulutangkis Australia yang mencicipi Klepon (sumber gambar : www.indosport.com)
Pertaruhan Nasib dan Menunggu Tagar "Saya Klepon!"

Kukira, situasi itu yang dihadapi makanan rakyat bernama Klepon! Namanya kembali go public! Kupastikan, kaum rebahan akan segera menggali dan menyigi sejarah panjang keberadaan klepon di Nusantara.

Sama nasibnya, saat riuh tentang isu "ambil alih" pulau Sipadan dan Ligitan serta pulau Natuna. Linimasa media sosial penuh dengan rasa memiliki yang tinggi, sekalian buru-buru mencari tahu. Posisi pulau itu berada di Nusantara bagian mana.

Begitu juga saat lagu-lagu daerah yang diklaim sebagai milik negara tetangga. Berbagai jurus dan peluru dilancarkan dan diluncurkan. Bahkan, sempat "mengganggu" hubungan bilateral dua Negara. Terakhir, tentang kepemilikan awal Batik. Namun, tak begitu hangat!

Bagiku, hanya orang-orang jenius yang berani mengambil resiko, dan mampu menempuh cara berbeda, untuk kembali mengingatkan anak bangsa. Bahwa masih ada Klepon yang harus dibela!

Hanya orang-orang pilihan, yang memiliki kemampuan membangun dan memperhitungkan logika terbalik!

Ketika Indonesia terancam terpecah belah, hadir bingkai foto yang memenuhi profil pengguna media sosial, "Saya Indonesia!" atau "NKRI Harga Mati!". Saat keberadaan Pancasila terancam, profil berganti dengan "Saya Pancasila!".

Mungkin, ada pikiran, "Anda boleh lakukan apa saja di negeri ini. namun jangan pernah lakukan klaim! Jangan pernah!" Karena pasti berhadapan dengan aksi dan reaksi yang luar biasa. Akan ada banyak tagar disertai berbagai varian bingkai foto. Semisal?

"Saya Gado-gado!"

"Saya Nasi Padang!"

"Saya Rinjani!"

"Saya Selat Malaka!"

"Saya Orang Utan!"

"Saya Komodo!"

"Saya Mawar Berduri!"

Aih, agak lebay, ya? Namun, acapkali situasi yang tercipta seperti letusan balon hijau. Sesaat hati kacau, terus ingatan kembali ke bilik lupa.

Kukira, harus menunggu besok. Siapa tahu, akan ada banyak orang yang mengganti foto profil media sosial miliknya, dengan tagar "Saya Klepon!"

reaksi Chef Arnold tentang alih bahasa klepon (sumber gambar : lifestyle.okezone.com)
reaksi Chef Arnold tentang alih bahasa klepon (sumber gambar : lifestyle.okezone.com)
Jadi?

Begitulah! Kemarin, aku menulis tentang manusia Indonesia yang perlu belajar tidur. Karena orang-orang Indonesia itu dikenal sangat sibuk. Terlalu banyak hal yang dipikirkan. Dan terlalu banyak yang harus dibahas dan dijelaskan.

Era millenial memang memiliki cara berbeda merespon sesuatu! Seperti rumus, "tak pernah ada dua pendapat yang sama, seperti dua helai rambut dari kepala yang sama".

Tapi, nasib dan nama baik klepon mesti dijaga! Karena sudah menjamah pada area jati diri budaya bangsa!

Seperti ucapan Margaret Thatcher tadi, jika tentang membereskan sesuatu, aku harus bertanya pada wanita. Mungkin tentang cara memasak klepon yang sempurna! Taraaa...

Demikianlah. Salam hangat!

Curup, 21.07.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun