Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sepak Bola, Tempat Belajar Melabuhkan Kekalahan

17 Juli 2020   20:46 Diperbarui: 18 Juli 2020   16:36 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suporter sepakbola (sumber gambar : https://bola.kompas.com)

"Maaf, ya? La Liga milik Real Madrid tahun ini!"

Ketenangan subuhku "terganggu" dengan  satu pesan melalui WA. Gangguan itu berlanjut, saat kuketemukan pemberitahuan, akun facebook milikku pun ditandai, dengan kalimat yang persis sama. Aih, terkadang, kekalahan memang sumber gangguan bagi ketenangan.

Aku bukanlah fans fanatik suatu klub sepakbola. Berlaku militan, yang mencintai sepenuh jiwa dan raga, sehingga mau melakukan dan merelakan apa saja. Karena posisi menyukai sepakbola sebagai hobi, maka ukuran cintaku pun seperti itu.

Aku memiliki tiga klub berbeda di tiga liga elite eropa. Barcelona di La liga, Liverpool di premier league Inggris serta AC Milan di Seri A. Alasan utamanya, bukan karena mereka klub juara. Namun, lebih sebagai simbol "perlawanan" dari kemapanan. Aku tulis, ya?

Mozaik Tabloid Bola (sumber gambar : https://tirto.id)
Mozaik Tabloid Bola (sumber gambar : https://tirto.id)
Sentuhan dan Kenangan dengan Sepakbola

Pernah kutulis, awal berkenalan dengan sepakbola adalah tabloid Bola, yang masih menjadi sisipan koran Kompas tahun 80-an. Nah, bicara La liga, Jika aku lebih "memihak" Barcelona. Bukan lantaran kenangan lesatan cannon ball dari tengah lapangan Ronald Koeman ke gawang Sampdoria pada final Piala Champion tahun 1992 yang berakhir 1-0. Namun sejarah "perlawanan" rakyat Catalan melalui olahraga.

Begitu juga ketika aku lebih cenderung pada Liverpool di liga Ingggris yang mendapat julukan "Tim Nyaris". Karena sejak berganti nama menjadi Premier League awal 90-an, didominasi tim The Red Devils asuhan Sir Alex Ferguson, The Gunners-nya Arsene Wenger terakhir The Citizen-nya Pep Guardiola.

Di Italia, aku memilih AC Milan! Ada nama-nama besar seperti Franco Baresi, Paolo Maldini, Demitrio Albertini dan trio Belanda : Marco van Basten, Frank Reijkard dan Ruud Gulit. Kuanggap pemenang pada "pertarungan politik" sepakbola di Italia dari Juventus, serta pengaruh mafia di daerah bagian selatan Italia, asal klub Napoli dengan bintangnya Maradona.

Hematku, pertengahan tahun 90-an hingga awal tahun 2000-an, adalah "tahun penderitaan" bagi ketiga klub itu di liga masing-masing. Kecuali AC Milan yang mengunci Seri-A tahun 1998 melalui tangan dingin Alberto Zacherroni, pelatih yang "diciduk" dari Udinesse musim sebelumnya.

Walaupun pada interval waktu itu, El Barca dan The Pool mampu berbicara di kompetisi Eropa, namun tidak di liga. Curva turun, naik atau melandai menerpa ketiga klub tersebut. Hal itu, memaksaku belajar untuk menghormati raihan klub juara.

Apakah aku berjiwa besar dan menerima kekalahan? Alasan logisnya, Aku pernah mencoba menjadi manajer sekaligus pelatih ketiga klub itu. Tapi secara virtual! Hihi...

Adalah game Championship Manager 1995 berbentuk CD, dan mesti di-instal di Komputer, awal mula aku berprofesi sebagai pelatih. Namun hasilnya tak pernah juara liga. Kecuali aku berlaku "curang"  dengan transfer paksa pemain bintang atau jika kalah, ulangi lagi.

Padahal, di AC Milan masih ada George Weah dan Shevchenko. Di Liverpool ada Owen dan Fowler, di Barcelona ada Koeman, Guardiola dan Luis Figo! Berbagai taktik dari fitur yang disediakan game tersebut kucoba. Tapi gagal!

Musim 2000-2001 aku mulai kenal game Football Manager. Dengan fitur game yang lebih lengkap dibandingkan Championship Manager 1995. Dengan beberapa kali update dan upgrade pemain di setiap musimnya. Akupun memainkan keduanya. Tetap saja gagal. Lagi dan lagi.

Ilustrasi : Sarung tangan kiper simbol pertahanan akhir. (sumber gambar : https://www.kompas.com/)
Ilustrasi : Sarung tangan kiper simbol pertahanan akhir. (sumber gambar : https://www.kompas.com/)
Sepakbola : Belajar Melabuhkan Kekalahan

Satu pelajaran penting yang kudapatkan adalah, aku membayangkan begitu hebatnya mental para pemain ketiga klub tersebut pada saat itu. Betapapun pahitnya, kekalahan pada musim lalu, mesti segera dianggap angin lalu.

Kemudian bersama membentuk energi positif untuk meraih kemenangan di musim berikutnya. Jika gagal? Akan kembali bangkit! Kukira mereka menganut rumus ajaib, kehidupan tak semua mulus. Terkadang datangnya hari ini karena kegagalan-kegagalan sebelumnya.

Mereka menjadi terlatih melabuhkan kekalahan. Namun tak lupa memupuk mental pemenang. Sehingga walaupun ada kekalahan dan kesedihan, itu tak berlangsung abadi!

Bagaimana denganku? Tak terhitung mouse juga keyboard yang menjadi sasaran kekesalanku akibat kekalahan demi kekalahan yang berulang itu. Tekanan dan ambisi untuk menang selalu menghantuiku, setiap memulai perjalanan di awal dan di akhir musim.

Akupun mulai sibuk mencari kesalahan dari game tersebut. Aku curiga, jangan-jangan, pembuat game tersebut "sengaja" menciptakan rumus yang aku tak mengerti, dan membuat ketiga klub yang kumainkan itu, tak pernah juara liga.

Percayalah! Tak pernah di posisi nyaman jika selalu menemui kekalahan. Apalagi merasa, jika segala usaha sudah dilakukan. Itu sangat menguras emosi. Padahal hanya game di komputer! Tinggal pencet shutdown, selesai!

Ilustrasi Bola dan sudut Lapangan (sumber gambar : https://aerosolwerk.blogspot.com)
Ilustrasi Bola dan sudut Lapangan (sumber gambar : https://aerosolwerk.blogspot.com)
Kukira, Menang atau Kalah Itu Bukan tentang Hasil

Benarlah, ucapan orang-orang. Sesungguhnya bukan urusan menang atau kalah. Tapi urusan mental sebagai pemenang atau memiliki mental kalahan. Jika memiliki mental kalah, maka seseorang akan sibuk mencari kesalahan-kesalahan di luar dirinya yang berujung dengan amarah.

Ketika melihat orang lain berhasil, tenggorokan terasa gatal untuk berkomentar, mata berdebu untuk menyigi kecurangan, telinga terlatih mengutip rahasia-rahasia. Waktu dihabiskan untuk menanam kecurigaan dan meneliti kesalahan-kesalahan. Makanya, orang kalah wajahnya terlihat kusut!

Berbeda dengan mental pemenang. Pikirannya penuh terisi dengan rencana-rencana baru, Tak ada waktu untuk mencari tahu, mendengarkan atau memikirkan ucapan dari orang-orang yang kalah.

Sehingga, mereka mampu menghasilkan kemenangan baru dan prestasi yang semakin tinggi. Juga semakin jauh meninggalkan orang yang kalah. Alhasil, Wajahnya akan berseri.

Mau bukti? Jika berusia sebaya, Coba iseng bandingkan raut wajah sendiri dengan wajah Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi! Lebih jauh lagi? Lihat saja aura wajah Ancelotti, Capello, Trappatoni. Cesare Maldini atau Ferguson semasa aktif melatih di usia kategori tua, dengan pelatih klub tanah air. Aih, perbandingan yang jahat, ya?

Aku hanya, ingin mengatakan, tak terhitung kekalahan demi kekalahan serta kegagalan yang mereka alami, tah?  Namun cara nama-nama besar itu melabuhkan kekalahan. Membuat wajah mereka tetap terlihat muda dan bahagia.

Kukira, tak hanya di dunia sepakbola, urusan menerima menang-kalah, berhasil-gagal, atau tentang kekurangan dan kelebihan. Namun nyaris di semua aspek kehidupan.

Terkadang, aku juga melihat beberapa kelucuan yang terjadi. Ada yang sudah dinyatakan menang, telah diakui sebagai pemenang. Namun raut wajahnya masih juga penuh amarah, dan sibuk mencari orang yang salah dan kalah. Aih, entahlah!

Curup, 17.07.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun