Bagiku, mengantar anak tak sekadar tugas seorang ayah. Terkadang saling sapa dan bertukar senyuman, walau tak kenal nama. Namun saat itulah, aku akan belajar dan mengamati rupa-rupa wajah anak dan cara-cara orangtua.
Akan terlihat pemandangan orangtua yang sudah berpakaian rapi atau masih mengenakan baju tidur. Ada yang dengan sabar menikmati interaksi pagi, berbincang sesaat dengan anaknya, kemudian melakukan ritual perpisahan.
Tak jarang ada juga pemandangan, orangtua yang marah-marah pada sang anak, seperti tergesa ingin segera berpisah dengan anak. Kukira, mungkin mereka terburu waktu. Namun, wajah sang anak terlihat tertekuk saat memasuki gerbang sekolah.
Begitu juga saat melihat anak-anak yang diantar saudaranya atau tukang ojek ke sekolah. Sesudah turun dari kendaraan, anak tersebut akan segera meluncur memasuki gerbang sekolah. Wajahnya? Aih, biasa-biasa saja.
Aku tak bisa menyigi langsung, apatah ada hubungan antara mengantar anak ke sekolah -dengan suasana riang gembira atau tidak, diantar orangtua atau tidak- jika dikaitkan dengan motivasi dan prestasi belajar anak. Biarlah itu kajian teman-teman psikologi pendidikan. Hihi...
Hanya aku membayangkan, dengan situasi seperti itu. Anak-anak masih rela menyandang tas sekolah yang dipenuhi beragam buku pelajaran dan alat perlengkapan sekolah lainnya. Serta membunuh waktu dan rasa bosan dengan tetap berusaha menaklukkan pelajaran yang diberikan guru.
Mungkin, guru tak akan bertanya, pagi semacam apa yang dihadapi anak. Atau teman-temannya tak akan peduli, apa yang dipikirkan si anak sejak dari rumah. Jika sudah memasuki kelas, semua anak dianggap siap untuk belajar, belajar dan belajar.
Aku bukan orangtua yang selalu tepat waktu menjemput anak. Apatah lagi, ada perbedaan waktu pulang antara sekolah dan tempatku bekerja.
Terkadang aku menjemput terlalu cepat dan harus menunggu. Situasi itu mengajakku kembali mengamati perilaku. Ada orangtua yang berbagi senyuman dan mengajak bercerita, namun ada juga yang sibuk bermain ponsel atau diam dan tak menyapa.