Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Anak Sudah Siap Bersekolah? Mungkin 4 Hal Ini Terlupakan oleh Orangtua

10 Juli 2020   21:09 Diperbarui: 14 Juli 2020   16:57 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suasana hari pertama bersekolah (sumber gambar : https://bandung.kompas.com)

Bagi seorang anak yang baru pertama sekali bersekolah. menyambut tahun ajaran baru, adalah momentum spesial. Terbayang, suasana baru, teman baru, serta bertemu guru. Yang terpenting, merasa semakin besar seperti anak yang lain. Walau berbeda warna seragam.

Begitu juga bagi orangtuanya. Hadir rasa bangga saat mendaftarkan anak, merasakan kepanikan jika nak tak mendapatkan sekolah yang diinginkan, atau terbayang akan terlibat riuh pembicaraan dengan teman-teman yang anaknya lebih dulu bersekolah.

Dengan berbagai keterbatasan, orangtua berusaha untuk memenuhi kebutuhan anak bersekolah. Apakah biaya pendaftaran, baju seragam, tas dan sepatu serta seperangkat perlengkapan sekolah.

Terlepas dari beragam kewajiban di atas, kukira ada beberapa hal yang terlupakan. Bahkan jamak dilakukan orangtua, yang malah bertentangan dengan misi bersekolah. Apa saja? Aku tulis, ya?

Pertama. Terlontar kalimat, "kami dulu...."

Nah, ini kalimat sakti yang acapkali membuat lawan bicara bertekuk lutut. Apalagi anak-anak, yang dihujani dengan berbagai cerita prestasi yang telah diraih ayah dan ibunya. Kukira anak akan mendengarkan, namun kalimat itu, pelan-pelan berubah menjadi tekanan.

Awalnya, berniat untuk memberikan motivasi. Namun, gegara keseringan, malah membuat anak jadi sewot! "Hah? Dulu itu, waktu kuda sebesar telur itik?"

Tak hanya pada anak, ucapan "kami dulu" itu tersebar dan beredar ketika berhadapan dengan guru di sekolah atau sesama orangtua calon siswa.

Kedua. Lupa berpesan "nikmatilah bersekolah!"

Pesan ini juga acapkali lupa disampaikan oleh orangtua. Apatah lagi setelah menghadapi kenyataan usaha serta biaya yang dikeluarkan untuk tak mudah dan murah. Seringkali yang tersampaikan pada anak adalah pesan "belajarlah yang rajin!"

Terkadang, orangtua bersikap tak adil pada anak. Padalal, jejangan semasa sekolah dulu lebih parah! Terus, merasa bersalah dan terbeban dengan masa lalu yang mungkin menyisakan penyesalan atau rasa malu. Akhirnya, refleksi orangtua "dititipkan" pada anak!

Jika asal kata sekolah awalnya adal "taman bermain", agar anak kemudian bisa bersekolah dengan riang gembira. Lalu apa yang terjadi? Dua hal yang biasa terdengar adalah : "Kamu harus begini-begitu! Kamu jangan ini-itu!"

Seorang Ibu yang membujuk anaknya (sumber gambar : https://pemilu.kompas.com)
Seorang Ibu yang membujuk anaknya (sumber gambar : https://pemilu.kompas.com)
Ketiga. Mudah berucap "coba lihat..."

Percayalah! Hidup akan semakin susah, jika terbiasa melakukan perbandingan entah prestasi atau prestise. Jika menelisik sejarah pertengkaran anak manusia pertama kali di bumi, adalah akibat perbandingan tentang pasangan antara Habil dan Qabil (Anak Adam).

Terkadang, orangtua lupa, jika anak merupakan pribadi yang unik dan ajaib! Nah, orangtua secara sadar atau tidak sadar acapkali merujuk dan berbincang sosok orang lain sebagai contoh. Jika ini dimaknai anak sebagai perbandingan, maka akan membuat anak terluka!

Aku tulis satu rahasia, ya? Anak bahkan mampu menyembuhkan lukanya sendiri tanpa disadari orangtua. Gawatnya, jika orangtua sering melakukan perbandingan, anak kembali dan berkali terluka!

Keempat. Lupa, jika anak adalah subjek bukan objek.

Menurutku, ada kekeliruan yang acapkali terjadi, pihak sekolah maupun orangtua masih sering menganggap anak sebagai "titipan" yang kumaknai sebagai objek. Contoh gampang? Dengarkan saja sambutan pihak sekolah atau orangtua saat perpisahan sekolah.

"Terima kasih telah mempercayai kami untuk menitipkan anaknya di..."

"Selama kami menitipkan anak di sini, mungkin ada salah atau..."

Namun dalam hal bersekolah, anak bukanlah objek dan guru sebagai subjek! Idealnya, guru dan siswa adalah subjek (pelaku), dan yang menjadi objek di sekolah adalah pelajaran.

Nah, pertanyaannya. Adakah orangtua juga pihak sekolah sepakat menganggap anak atau siswa sebagai subjek (pelaku)? Jika pun ada, sejauh mana, membiarak dan mendorong anak untuk "menaklukkan" pelajaran yang bermakna objek?

Bila anak tetap dianggap sebagai objek di sekolah. Maka, selamanya beragam pelajaran yang dilalui oleh anak dengan berbagai tingkat kesulitan dan kerumitannnya, hanya menjadi pelengkap bersekolah. Bagi anak, guru juga orangtua.

Ilustrasi suasana hari pertama bersekolah (sumber gambar : https://bandung.kompas.com)
Ilustrasi suasana hari pertama bersekolah (sumber gambar : https://bandung.kompas.com)
Gawatnya, jika anak tetap dipandang sebagai objek adalah, "memperlakukan" anak seperti wayang yang mesti melakukan apapun serta mengenakan perlengkapan apa saja yang dibutuhkan saat bersekolah.

Bayangkan, jika anak bertemu pihak sekolah yang hanya sekedar "menunaikan tugas dan kewajiban"?

Apatah lagi, ternyata orangtua begitu bangga serta puas dengan angka-angka cantik yang tertera di rapor saat UTS atau UAS. Tanpa peduli, apakah semua yang dipelajari anak itu membekas atau terpangkas?

Aih sudah, ya? Artikel ini refleksiku, menyambut tahun ajaran baru di era kelaziman baru. Selalu sehat buat semua. Salam hormat dan salam hangat!

Curup, 10.07.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun