Nah, pertanyaannya. Adakah orangtua juga pihak sekolah sepakat menganggap anak atau siswa sebagai subjek (pelaku)? Jika pun ada, sejauh mana, membiarak dan mendorong anak untuk "menaklukkan" pelajaran yang bermakna objek?
Bila anak tetap dianggap sebagai objek di sekolah. Maka, selamanya beragam pelajaran yang dilalui oleh anak dengan berbagai tingkat kesulitan dan kerumitannnya, hanya menjadi pelengkap bersekolah. Bagi anak, guru juga orangtua.
Bayangkan, jika anak bertemu pihak sekolah yang hanya sekedar "menunaikan tugas dan kewajiban"?
Apatah lagi, ternyata orangtua begitu bangga serta puas dengan angka-angka cantik yang tertera di rapor saat UTS atau UAS. Tanpa peduli, apakah semua yang dipelajari anak itu membekas atau terpangkas?
Aih sudah, ya? Artikel ini refleksiku, menyambut tahun ajaran baru di era kelaziman baru. Selalu sehat buat semua. Salam hormat dan salam hangat!
Curup, 10.07.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H