Contoh? Lihat saja reaksi seorang anak, ketika keinginannya tak dipenuhi. Ada yang bereaksi dengan teriak-teriak, ada yang menangis selelah tenaga, bahkan ada juga yang bereaksi dengan aksi memukul orang lain atau malah menyakiti diri sendiri.
Apa pilihan yang akan dilakukan orangtua, jika anak begitu? Pertama. Pembiaran. Dengan maksud agar anak memahami, tak semua keinginan segera terwujud. Kedua. Memenuhi Keinginan, agar anak berhenti teriak-teriak, menangis, menyakiti diri sendiri atau orang lain.
Sudut Objek: Orang yang Dimarahi
Tak pernah mudah menerima peran sebagai objek, apatah lagi sasaran amarah. Terasa berat ketika dianggap gagal mewujudkan harapan, bahkan bisa jadi terasa menyakitkan, ketika malah dianggap tak mampu mengukur kapasitas diri.
Padahal, bisa saja kegagalan itu karena adanya sumbatan komunikasi, namun tak terungkap sejak dini. Apa yang terjadi ketika menjadi sasaran amarah, namun tak memiliki "ruang" untuk melakukan pembelaan diri?
Coba bayangkan jika seorang anak diharapkan meraih nilai yang baik, dengan semua fasilitas yang disediakan. Akhirnya dimarahi dan dicap orangtuanya gagal, jika ternyata nilainya jeblok. Tapi, anak tak diberi peluang untuk menjelaskan persoalan yang dihadapi?
Apa pilihan anak? Pertama, mengakui "sebagai orang yang gagal", agar amarah segera mereda, pun bersiap menerima risiko amarah susulan dari orangtua. Kedua, berdiam diri, menjauh dengan melarikan diri atau malah bersembunyi, serta membiarkan apapun yang akan terjadi.
Walupun berbeda posisi, antara orang yang marah (subjek) dan orang yang dimarahi (objek). Gawatnya, keduanya memiliki hal yang sama, yaitu "rasa takut". Rasa takut karena keinginan gagal terwujud, akhirnya marah atau rasa takut dituduh sebagai penyebab kegagalan.
Dahsyatnya! Rasa takut itu, terkadang melampaui makna marah.
Bagi orang yang marah, karena "bumbu penyedap" sangat tidak senangnya semakin banyak. Marah menjadi "senjata cadangan" agar keinginan itu bisa terwujud. Perilaku yang jamak ditemui adalah: salah sedikit, marah! Lambat sedikit, marah. Pokoke marah!
Bagi objek dimarahi, jika satu atau dua kali mengalami, mungkin ada usaha untuk memperbaiki diri. Namun jika hal itu dilakukan berulang kali? Perilaku yang biasa ditemui adalah, rasa takut salah atau pasif menunggu.
Akhirnya? Menjadi tak kreatif, bahkan kontra produktif. Semisal di dunia kerja, bila dikaitkan dengan hubungan atasan dan bawahan. Situasi begini, bisa ambyar!