Ada apa dengan kata marah?
Itu pertanyaan yang terlintas, ketika aku "kekenyangan" menyantap judul-judul artikel yang tersaji di media massa dan media sosial dalam beberapa hari terakhir.
Berawal dari unggahan video Presiden Jokowi yang berbicara dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara (18/6/20200). Selain kata marah, ada juga yang menyebut itu ungkapan jengkel, atau pernyataan gusar seorang pemimpin kepada pembantunya.
Untuk apa video tersebut diunggah? Bisa saja dimaknai, bahwa sikap dan pernyataan presiden itu memang ingin dijadikan konsumsi publik. Jawaban sederhananya, agar orang-orang di luar ruangan sidang tahu.
Tujuannya? Bisa bermacam-macam. Biar rakyat tahu, jika suasana sidang kabinet seperti itu. Biar rakyat paham, jika presiden bisa marah, dan menteri juga bisa kena marah. Biar rakyat mengerti, presiden dan menteri memikirkan negara. Dan biar-biar lainnya.
Aih, aku tak membahas tentang marah Presiden. Kali ini, aku mau menulis tentang kata marah saja. Tapi, secara kiramologiku.
Jika berpijak pada KBBIÂ V, marah itu bermakna "sangat tidak senang" (karena dihina, diperlakukan tidak sepantasnya dan sebagainya). Tak spesifik dijelaskan alasan yang menyebabkan seseorang marah. Kukira, karena setiap orang bisa saja memiliki alasan berbeda, kan?
Jika kata marah dikaitkan dengan orang akan ada dua hasil. Orang yang marah (subjek), dan orang yang dimarahi (objek). Ketika kupakai rumpun ilmu kelirumologi, maka variannya:
Sudut Subjek: Orang yang Marah
Akan menjadi aneh bila seseorang marah tanpa alasan, kan? Bisa jadi marah itu karena harapan tak sesuai kenyataan. Atau melihat jalan mewujudkan keinginan ada yang tersendat. Atau lagi, menemukan sesuatu yang menghambat, sehingga menjadi terlambat.
Karena "tekanan" mewujudkan keinginan itu semakin lama semakin membesar, maka butuh cara instan untuk mengingatkan. Atau mencari sasaran antara untuk pelampiasan. Cara termudah, dengan marah. Sasarannya? Siapa saja yang dianggap layak.