Hampir dua bulan, sejak sebelum Ramadan hingga usai lebaran, aku tak lagi menikmati pagi di kedai kopi. Berbincang ringan tanpa arah, dengan berbagai tema ditemani segelas kopi dan aneka gorengan, menjadi salah satu hal yang dirindukan. Nah, pagi tadi rinduku terobati.
Awalnya, perbincangan hanya saling bertukar kabar, karena lama tak bersua. Kemudian pindah tema tentang kehidupan yang mesti dijalani, beserta kendala dan keterbatasan yang dihadapi. Eits, para lelaki di kedai kopi, juga ngegosip, kan? Anggap saja gosip ala lelaki!
Perlahan, pembicaraan beralih pada keluhan kebutuhan sekolah anak, karena sebentar lagi akan masuk tahun ajaran baru, juga kisah bercampur kesah tentang urusan asap dapur. Namun, tema ini selesai dengan cepat, ketika semua mengalami hal yang sama.
Cerita bergeser lagi tentang suhu politik sebelum Pilkada, kebijakan petinggi negara hingga utang luar negeri. Nah, ini baru tema yang seru! Afiliasi politik dan tingkat pendidikan plus ajang pamer pengetahuan mulai ditampilkan. Apalagi berhubungan dengan kata "utang"! Haha...
Percayalah! Alur kisah dalam pembicaraan di kedai kopi, bukan ditentukan oleh urusan status sosial, ekonomi, jabatan atau seperangkat kedudukan seseorang. Tetapi, oleh pemilik suara terkeras dan kegigihan urusan tarik urat leher!
Ketika ada ujaran, jika terlalu banyak utang luar negeri, bagaimana mungkin negara bisa mandiri? Alur pembicaraan menjadi "kusut"! Bertambah "semrawut", ketika ada celetukan, gegara banyak utang ada tetangganya yang ingin bercerai! Tuh, ngegosip, kan?
"Gegara utang, bisa begitu?"
"Parah, kan?"
"Iya!"
"Ada yang bilang, itu disebut Toxic Financialship, Bang!"
Aku terdiam. Kukira pembicaraan dengan menggunakan "huruf-huruf kusut" di atas, adalah hasil semadi pelanggan kedai kopi, gegara pandemi covid 19. Berdiam di rumah selama pandemi, membuat teman-temanku semakin canggih! Hihi...