Kepak sayap sepasang burung layang-layang, hadirkan riuh seisi ruangan. Tak lama, kemudian menghilang. Hanya memberi kabar, pagi telah datang.
Kulihat papan tulis kembali tertulis satu kata baru, dan satu kata lama.
Loteng baru
Dua kata itu, menyelinap di antara barisan kata-kata yang telah lama terlukis, di papan tulis. Tahun ajaran, siswa, cat, meja juga bangku, diakhiri kata baru. Selalu.
Seraut wajah terlihat di balik pintu. Sosok lelaki separuh baya berdiri kaku, tangannya memegang sapu, matanya mengitari ruangan yang sejak lama berdebu. Hanya sesaat, sosok itupun lenyap di balik pintu.
Sapu baru.
Penjaga sekolah baru.
Kapur tulis tersenyum menatapku. Kubalas senyuman itu tanda setuju.
Hingga sore, papan tulis nyaris penuh coretan kata baru. Lemari, kalender, rak sepatu, kunci pintu serta lampu masuk daftar terbaru.
Kapur tulis tersisa seujung kuku, saat kubaca dua tulisan pilu.
Guru baru
Kepala sekolah baru
Hari mulai gelap, ruangan itu kembali senyap. Tiba-tiba kapur tulis menoleh ke arahku, namun tatapan itu bukan tertuju untukku. Tapi pada sepasang potret diri, tempatku biasa bersembunyi.
Tak ada gerakan, dan tak ada tulisan. Aku tahu, tanpa lampu takkan ada kata baru.
Curup, 20. 06. 2020
zaldychan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H