Melihat itu, maka semakin banyak keinginan-keinginan yang tersusun di pikiran, tentang hal-hal yang mesti diketahui oleh anakku. Sebagai bekal mereka nanti, agar aku tak ditahbiskan sebagai orangtua yang gagal.
Kukira, aku belum menjelaskan tentang cinta pada anakku. Bagaimana caraku mencintainya, dan berharap ia mengerti, terkadang cinta tak perlu dikatakan, tapi dirasakan dan diperlihatkan.
Akupun ingin anakku mengerti bahwa dunia ini adalah mengenai orang. Bahwa yang didapatkan adalah dari apa yang diberikan. Kebahagiaan itu akan terjadi dengan mencintai, bukan membenci. Dengan saling menolong, bukan saling menyakiti.
Ingin aku menjelaskan tentang kejujuran dan integritas diri. Bahwa bernilainya seseorang bukan saja dari pengetahuan dan harta benda yang dimiliki. Tapi juga dari komitmen dan konsistensi untuk saling menghargai.
Setahun lalu, saat anakku menyelesaikan SMP, dan berujar ingin melanjutkan sekolah ke luar daerah. Aku kembali terjebak pada pertanyaan, "apa yang aku inginkan sebagai orangtua, agar diketahu oleh anakku?"
Akhirnya, akupun memilih berdamai dengan inginku. Aku mesti mengubah persepsiku sebagai orangtua. Kukira sudah saatnya, kuikuti sesuai keinginan anakku. Bukan lagi sesuai keinginanku.
Namun, batasan awal dan akhir pembelajaran itu, tak akan kujumpai ketika aku harus mengajarkan anak laki-laki menjadi pria dewasa, atau menjadikan anak gadisku menjadi seorang wanita. Pembelajaran itu, akan terus berlangsung seumur hidupnya.
Memilih untuk melupakan "seharusnya" mengajar, menghindar dengan alasan lelah mengajarkan, atau memilih untuk tidak perlu lagi mengajarkan. Tak akan menghilangkan "tugas" sebagai orangtua, tapi malah mengajarkan pelajaran masa bodoh pada anakku.
Aih, entahah! Aku masih merasakan banyak pekerjaan rumah sebagai orangtua bagi anakku. Tentang begitu penting dan ajaibnya memiliki "rasa percaya diri". Betapa hebatnya kekuatan tekad yang mampu menghapus kata pasrah dan menyerah.
Apalagi menitipkan pesan, tentang begitu nikmat dan indahnya rasa bersyukur. Terkadang, aku lupa dengan satu pepatah kuno bangsa Arab, yang berlaku berabad-abad lalu.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!